Senin, 31 Oktober 2022

Darek, Rantau, Pesisir

 

Secara geografis, luas Minangkabau sekitar 42.000 km persegi. Luasnya kira-kira 11 % dari luas Pulau Sumatera. Ranah Minangkabau termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatra Barat. Dalam garis besarnya, Alam Minang terdiri atas dua kawasan, Darek dan Rantau. Darek adalah kawasan inti yang berada di pedalaman atau di dataran tinggi. Tepatnya di sekitar gunung Merapi. Oleh karena itu, kawasan di pedalaman ini disebut darek (darat). Sedangkan daerah yang mengelilingi di sekitar kawasan inti disebut rantau (Sjafnir Aboe Nain Kando Marajo, hlm. 13-14). Di dalam tambo diungkapkan secara simbolis letak geografis Alam Minangkabau: “Dari Riak nan Badabua, Siluluak Punai Maif, Sirangkak nan Badangkuang, Buayo Putiah Daguak, Taratak Aie Hitam, Sikilang Aie Bangih, Hingga Durian Ditakuak Rajo” (Dari Riak nan Berdebur, Siluluk Punai Maif, Sirangkak nan Berdengkung, Buaya Putih Daguk, Teratak Air Hitam, Sikilang Air Bangis, Hingga Durian Ditekuk Raja). Demikian menurut Sjafnir Aboe Nain Datuk Kando Marajo dalam Sirih Pinang Adat Minangkabau (2006). Darek Kawasan inti yang diyakini sebagai daerah asal Suku Minang terdiri dari tiga luhak: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Kawasan ini kemudian dikenal dengan nama Luhak Nan Tigo. Luhak Nan Tigo terletak di kawasan pedalaman. Dalam tradisi masyarakat Minang, ketiga kawasan yang berada di pedalaman ini dikenal dengan sebutan darek (darat). Ketiga kawasan inilah yang kemudian menjadi inti atau pusat dari Alam Minangkabau. Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota terletak di dataran tinggi yang membentang di Bukit Barisan. Letaknya membujur dari utara ke selatan. Luhak Tanah Datar berpusat di Batusangkar. Luhak Agam berpusat di Bukitinggi. Luhak Lima Puluh Kota berpusat di Payakumbuh. Baca Juga  Budaya Melayu (1): Legenda Adu Kerbau dan Asal-Usul Orang Minang Sebagian besar dari nagari-nagari di kawasan inti Alam Minang berada di dataran tinggi. Dikelilingi tiga gunung yang amat masyhur bagi masyarakat setempat, yaitu gunung Merapi, Singgalang, dan Sago. Kawasan ini berada di ketinggian sekitar 300 sampai 900 meter di atas permukaan laut. Kawasan-kawasan inti di Luhak Nan Tigo (Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh) dikelilingi oleh nagari-nagari satelit yang dikenal dengan nagari Rantau. Rantau Suku Minang menyebar ke wilayah pinggiran di luar kawasan inti Alam Minangkabau. Kawasan-kawasan di pinggiran inti Alam Minang inilah yang kemudian disebut nagari Rantau.   Pada mulanya, nagari Rantau merupakan tempat pemukiman orang-orang Minang. Lambat laun, Rantau menjadi wilayah kedua Alam Minangkabau yang terpisah dari daerah asalnya. Namun, masyarakat di nagari-nagari Rantau tetap menghubungkan diri dengan kebudayaan nagari asalnya. Masyarakat Rantau selalu mengikatkan diri secara etnik dan kultural dengan Minangkabau. Secara geografis, daerah Rantau dibagi menjadi: Rantau Timur, Rantau Pesisir, Rantau Pasaman, dan Rantau Selatan. Daerah di sepanjang aliran sungai yang mengalir ke pantai timur disebut Rantau Timur. Daerah dataran rendah yang sempit dan membujur sepanjang pantai barat Sumatera Barat disebut Rantau Pesisir, terdiri atas kawasan Tiku, Pariaman, Padang, Painan, dan Indrapura. Di sebelah utara Luhak Agam terletak Rantau Pasaman, terdiri dari  Rao, Lubuk Sikaping, Portibi, dan Air Bangis. Di daerah rantau bagian selatan berbatasan dengan Kerinci, terletak di Alahan Panjang, Sungai Pagu, dan Muara Labuh (Sjafnir Aboe Nain Datuk Kando Marajo, hlm. 14). Alam Minangkabau Dengan demikian, konsep “Alam Minangkabau” merupakan simbol yang menghubungkan antara kawasan inti Minangkabau dengan kawasan Rantau. Sekalipun nagari-nagari di kawasan rantau menjadi wilayah kedua dalam Alam Minangkabau, tetapi masing-masing mengikatkan diri dengan wilayah intinya. Baca Juga  Budaya Melayu (5): Bahasa, Kekerabatan, dan Sistem Pemerintahan Suku Minangkabau Yang perlu dicatat di sini, menurut Sjafnir Aboe Nain Kando Marajo (2008), pengertian Alam Minangkabau dapat dipahami melalui tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, aspek geografis. Kawasan Luhak Nan Tigo dan kawasan Rantau berada dalam kesatuan Alam Minangkabau. Kedua, aspek kultural. Sekalipun kawasan Rantau menjadi menjadi wilayah kedua dalam struktur Alam Minangkabau, tetapi masing-masing mengikatkan diri secara etnik dan kultural dalam kesatuan budaya asalnya. Orang-orang rantau tetap dipandang sebagai bagian dari Suku Minangkabau. Ketiga, aspek sosiologis. Dua kawasan Alam Minangkabau ini tumbuh dan berkembang dalam dinamika sejarah yang sama. Artinya, pola interaksi orang-orang Rantau dan Luhak Nan Tigo berada dalam kesatuan sosiologis. Mereka tetap berada dalam kesatuan ikatan budaya Minangkabau.

 

Minangkabau, selain memiliki wilayah darek (luhak) dan wilayah rantau, juga memiliki wilayah "pasisia" (pesisir). Banyak juga orang minangkabau yang tinggal di pasisia. Walaupun pada dasarnya pusat wilayah minangkabau adalah darek atau luhak. 

 

Wilayah pasisia merupakan bagian dari wilayah rantau. Wilayah pasisia adalah wilayah di tepi pantai. Pasisia dalam bahas indonesia berarti pesisir.  Sama seperti wilayah rantau lainnya, orang minangkabau yang merantau ke daerah pasisia juga mengembangkan kebudayaan dan adat minangkabau di daerah tersebut.  Di daerah pasisia ini mereka melakukan berbagai jenis usaha seperti nelayan, bercocok tanam, beternak dan lain sebagainya.

 

Secara umumnya wilayah pasisia bisa diartikan sebagai wilayah rantau orang minangkabau yang terletak di pinggir laut atau di pantai. Wilayah pasisia ini merupakan salah satu wilayah minangkabau  karena mereka menganut adat minangkabau.

 

Wilayah pasisia minangkabau berada di sepanjang pantai bagian barat sampai pulau sumatra mulai dari perbatasan bengkulu sekarang (muko-muko) sampai ke perbatasan tapanuli selatan. Wilayah tersebut dahulunya merupakan wilayah minangkabau karena penduduknya adalah orang minangkabau.

 

Wilayah pasisia merupakan daerah rantau orang luhak tanah datar dan luhak agam. Mereka menyebear ke arah barat , kemudian sebagian menetap  dipantai. Perpindahan tersebut berlangsung secara bertahap, bukan pindah secara serempak seperti transmigrasi sekarang.

 

Penyebaran masyarakat Luhak tanah Datar yaitu :

 

Perpindahan penduduk luhak tanah datar ke arah selatan, melahirkan tiga belas nagari yang kemudian dikenal dengan kubuang XIII. Nagari-nagari tersebut ialah solok salayo, koto hilalang, cupak, talang, gauang, saok laweh, gantuang ciri, koto gadang, koto anau, muaro paneh, koto baru, koto gaek, dan tanjuang balingkuang.

 

Dari kubuang XIII, mereka terus menyebar ke nagari-nagari arah selatan seperti : alahan panjang, pantai cermin, dan alam surambi sungai pagu. Dari sini mereka terus menyebar lagi ke arah pesisir selatan  dan akhirnya sampai ke daerah muko-muko di perbatasan bengkulu.

 

Nagari-nagari yang terletak di daerah pesisir selatan tersebut ialah : ranah pasisia, silawaik, lunang, indopuro, aia aji, pungasan, sungai tunu, labuan  balai salasa, surantiah, sungai sirah, lakitan, koto baru, kambang, ampiang perak, taratak, batang kapeh, salido, painan, lumpo, asam kumbang, bayang, koto marapak, tarusan koto sabaleh, dan lubuak kilangan.

 

Lain halnya, dari daerah batipuah X koto tanah datar, penyebaran penduduk terjadi ke arah barat. Dari jaho dan tambangan mereka sampai di anduriang kayu tanam, guguak kapalo hilalang, sicincin, toboh pakandangan. Daerah ini dikenal dengan ujuang darek kapalo rantau yaitu perbatasan luhak dengan rantau.

 

Dari wilayah itulah mereka menyebar kearah pasisia yaitu : VII koto sungai sariak yang terdiri dari beberapa nagari : tandikek, batu kalang, sungai sariak, sungai durian, dan ampalu. Sebagian dari mereka terus menyebar ke wilayah padang VIII suku seperti : pasia ulak karang, ranah binuang, palinggam, subarang gantiang, parak gadang, aia cama, alang laweh, balai tampuruang, dan kampuang olo parak karambia.

 

Berdasarkan penyebaran tersebut, kelihatan dari luhak tanah datar mereka menempati wilayah yang cukup luas, yaitu kabupaten pesisir selatan, kota madya padang, dan sebagian wilayah padang pariaman sekarang.

 

Penyebaran penduduk luhak agam hingga mencapai pasisia adalah sebagai berikut.

 

Dari siano koto gadang, sampai ke lawang tigo balai dan palembayan. Sebagian di antara mereka menuju arah pasaman sekarang yaitu kumpulan, ganggo, kinali, sundatar, tiagan, dan sasak. Sebagian rombongan itu sampai ke lubuak basuang, tiku. Rombongan yang dari matur juga sebagian melanjutkan penyeberangannya hingga kemaninjau X koto, terus ke XII koto, sungai garinggiang, gasan dan tiku, cimpago, ulu banda, dan terus menjadi V koto kampuang dalam, pariaman sabatang panjang dan malai sabatang panjang.

 

Penyebaran ke arah utara selanjutnya : dari sasak dan kinali terus ke parik batu, koto baru, padang tujuh, aua kuniang, lubuak pudiang, aia gadang, sontang muaro kiawai, sungai aua, ujuang gadiang, parik, aia bangih, dan daerah disekitarnya.

 

 Berdasarkan uraian di atas, penyebaran penduduk luhak agam ke wilayah pasisia meliputi daerah pasaman dan sebagian kabupaten padang pariaman sekarang. Dan masih banyak lagi penyeberan yang terjadi selanjutnya.

 

Kedudukan wilayah pasisia

 

Wilayah pasisia menjadi daerah penyeberan dai luhak tanah datar dan luhak agam. Tujuannya mereka merantau adalah mencari penghidupan baru yang lebih layak. Diluhak mereka menggunakan adat minangkabau sebagai aturan-aturan yang berlaku dan pegangan dalam mengatur kehidupan. Aturan adat minangkabau tersebut mereka bawa ke wilayah rantau pasisia. Oleh karena itu, wilayah rantau pasisia tersebut akhirnya menjadi bagian dari wilayah minangkabau.

 

Kedudukan wilayah pasisia tetap menjadi wilayah rantau. Adat dan budayanya sama dengan luhak. Jika terdapat perbedaan, hanya sebagian dari pelaksanaannya saja. Perbedaan lainya terletak pada pimpinan dan pemimpin. Seperti ungkapan “ luhak bapangulu, rantau barajo,. Pemimpinnya adalah raja, disamping pengulu juga ada.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia