Pada masa Van
den Bosch (1830-1870) sebagai
gubernur jenderal yang baru diberi
tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk tugas itu, Van den Bosch menerapkan kebijakan sebagai
berikut. Bosch menghapus sistem sewa tanah peninggalan
Raffles dan menggantinya dengan sistem yang disebut cultuurstelsel. Secara harfiah, cultuurstelsel berarti
sistem budaya. Oleh bangsa Indonesia,
sistem itu disebut Tanam Paksa atau
TP, karena dalam praktiknya rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti
kopi, tarum (nila), tebu,
tembakau, kayu manis,
dan kapas.
Kebijakan tanam paksa adalah sebagai
berikut. 1) Mewajibkan setiap desa menyisakan 20 persen tanah untuk ditanami
kopi, tebu, dan nila. Hasilnya dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Tanah yang
digunakan untuk tanam paksa bebas
dari pajak. 2) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian wajib mengerjakan tanah pertanian milik pemerintah selama 66 hari. 3) Waktu mengerjakan
tanaman tidak boleh melebihi waktu tanam padi, yakni tiga bulan. 4) Kelebihan hasil produksi akan dikembalikan
kepada rakyat. 5) Kerugian tanaman akibat
bencana alam atau serangan hama sehingga gagal panen akan ditanggung oleh pemerintah. 6) Pengawasan dalam
penggarapan tanam paksa dilakukan oleh para kepala
desa.
Dalam pelaksanaannya, ternyata tanam paksa berbeda
jauh dari konsep awalnya, yaitu sebagai
berikut. 1) Tanah milik petani digunakan seluruhnya untuk tanam paksa. 2)
Tanah yang digunakan tanam pajak tetap dikenakan pajak. 3) Warga yang tidak mempunyai tanah tetap bekerja di
tanah pertanian pemerintahan selama satu tahun
penuh.
Bagi pemerintah
Hindia Belanda, sistem TP berhasil dengan luar biasa. Kas Belanda menjadi
surplus sehingga Bosch dipuja-puja sebagai
tokoh yang memakmurkan dan menyejahterakan Negeri Belanda. Atas “jasanya” itu, Bosch diberi gelar bangsawan de Graaf. Gelar ini
diberikan untuk orang-orang yang berjasa kepada
negara. Namun demikian, Sistem TP banyak mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk orang-orang Belanda sendiri karena dianggap lebih kejam dari zaman VOC.
Salah satu pengkritik yang paling keras adalah Eduard Douwes Dekker.
Kritiknya ditulis dalam sebuah buku (novel) berjudul
Max Havelaar dengan menggunakan
nama samaran Multatuli. Isi buku (novel) itu menjelaskan kisah petani yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda dan bertentangan dengan moral Eropa saat itu yang menjunjung tinggi semangat
Revolusi Perancis: kesamaan,
kebebasan, dan persaudaraan. Sistem TP kemudian dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkan Undang-undang Agraria
dan Undang-undang Gula.
Tujuan dikeluarkan Undang-undang Agraria adalah sebagai
berikut. 1) Melindungi hak milik petani dari penguasa
dan modal asing. Hal ini reaksi dari pemerintah
Belanda yang mengambil alih tanah rakyat dalam TP. 2) Pemodal asing dapat menyewa tanah rakyat seperti halnya
di Inggris, Amerika, Jepang, dan Cina. 3) Membuka
kesempatan rakyat untuk bekerja menjadi
buruh perkebunan.
Sementara itu, Undang-undang Gula memberi kesempatan
kepada para pengusaha gula untuk
mengambil alih pabrik gula milik pemerintah Belanda. Penerapan kedua undang-undang itu melatarbelakangi para pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia
sehingga era liberalisasi ekonomi
dimulai di Indonesia.
Politik Pintu Terbuka
(1870-1900) 28 Tahun 1850, partai liberal
di Belanda memenangkan pemilu
sehingga partai ini menjalankan pemerintahan. Perkembangan liberalisme di Belanda dipicu oleh
semangat Revolusi Perancis dan revolusi industri Inggris. Dampak dari kemenangan partai liberal adalah diterapkannya sistem ekonomi
liberal, termasuk di negeri jajahan (Indonesia). Karena tergantung kepada modal individu dan swasta untuk
menggerakkan perekonomian, maka
sistem ini disebut sistem kapitalisme.
1. Penerapan Sistem Pintu Terbuka.
Di Indonesia, sistem ekonomi liberal
diwujudkan dalam bentuk kebijakan pintu terbuka. Hal tersebut sesuai
dengan maksud utama kebijakan ini, yaitu membuka
ruang (pintu) seluas-luasnya bagi swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kebijakan ini berhasil menarik
minat banyak pengusaha, baik dari asing
maupun dari etnis Tionghoa untuk menanamkan modalnya secara besar- besaran. Tidak hanya dalam bidang
perkebunan, tetapi juga pertambangan. Berikut
ini contoh perkebunan milik swasta asing yang ada di Indonesia.
1) Perkebunan tembakau di Deli (Sumatra
Utara), Kedu, Klaten,
dan lain-lain.
2)
Perkebunan tebu di Cirebon dan Semarang.
3)
Perkebunan kina di Jawa Barat.
4)
Perkebunan karet
di Palembang dan Sumatra Timur.
5)
Perkebunan kelapa sawit di Sumatra
Utara.
6)
Perkebunan teh di Jawa Barat.
7)
Bersamaan dengan itu, para pengusaha juga mendirikan pabrik teh, tembakau,
gula, rokok, dan pabrik cokelat.
Sementara itu, pertambangan berkembang di Sumatra,
Jawa, dan Kalimantan. Batubara di Sumatra
Barat dan Selatan,
sedangkan timah di Pulau
Bangka.
2. Dampak Kebijakan Pintu Terbuka.
Dampak dari Kebijakan Pintu terbuka? Bagi Belanda dan penguasa asing berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka, sedangkan bagi rakyat berdampak pada kesengsaraan dan penderitaan. Kebijakan ini menjadi tempat 29 eksploitasi baru yang tidak berbeda dengan TP. Eksploitasi tersebut adalah eksploitasi manusia dan eksploitasi agraria.
1) Eksploitasi Manusia.
Eksploitasi manusia ialah pengerahan tenaga manusia
yang diwarnai tipu daya dan paksaan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan yang mereka alami di perkebunan. Contohnya adanya hukuman
cambuk terhadap para kuli yang melakukan pelanggaran selama bekerja di perkebunan tembakau
di Deli, Sumatra.
Bagi yang melarikan
diri mendapat hukuman denda,
disekap, kerja tanpa upah, bahkan dibunuh. Kebijakan
ini juga ditandai dengan pengiriman secara besar-besaran dan secara
paksa tenaga kerja
dari Jawa untuk
dipekerjakan di perkebunan perkebunan Belanda di tanah
jajahannya yang lain seperti di Suriname dan Guyana. Sekitar
tahun 1890-an, orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikirim ke Suriname mencapai
32.965 orang. Setelah
kemerdekaan, mereka hanya sebagian kecil
yang kembali ke Indonesia.
Perhitungan tahun 1972 sebanyak 57.688 keturunan Jawa berada di Suriname dan
pada tahun 2004 berjumlah 71.879.
2) Eksploitasi Agraria.
Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan-lahan produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun lahan-lahan kosong yang masih berupa hutan untuk dijadikan perkebunan serta areal pertambangan. Pemanfaatan lahan produktif umumnya di Jawa, sedangkan perkebunan di Sumatra, dengan menggunakan lahan-lahan yang masih kosong. Ada beberapa dampak negatif dari kebijakan pintu terbuka bagi masyarakat Jawa, yakni sebagai berikut. :
a) Para priayi dan birokrat kesultanan menyewakan tanah lungguhnya kepada para pengusaha perkebunan swasta asing karena lebih menguntungkan daripada disewakan kepada para petani penggarap.
b) Di lahan-lahan perkebunan tenaga kerjanya dari rakyat 30 Jawa dan sistem pengupahannya tidak adil karena sangat murah.
c) Sebagian dari rakyat Jawa dikirim ke Suriname untuk bekerja di perkebunan Belanda.
d) Para bupati di 18 wilayah keresidenan di Jawa ikut menyewakan sebagian tanahnya kepada pengusaha perkebunan asing dan memaksa rakyat di 18 keresidenan tersebut bekerja diperkebunan-perkebunan tersebut. 7. Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka. Kebijakan tersebut sebagai tempat untuk mengeksploitasi rakyat sehingga Belanda semakin makmur. Hal ini membuat kaum humanis bersuara lantang. Sudah berabad-abad rakyat menderita demi kemakmuran Belanda sehingga sudah sepantasnya Belanda membalas budi dengan memajukan bangsa Indonesia, bukannya menyengsarakannya. Itulah gagasan dasar yang mendorong lahirnya politik etis. Salah satu penggagas munculnya politik etis adalah Van Deventer. Menurutnya, pemerintah Belanda harus melakukan sesuatu demi kesejahteraan kaum pribumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar