Rabu, 15 Juni 2022

Tanam Paksa Dan Politik Pintu Terbuka

Pada masa Van den Bosch (1830-1870) sebagai gubernur jenderal yang baru diberi tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk tugas itu, Van den Bosch menerapkan kebijakan sebagai berikut. Bosch menghapus sistem sewa tanah peninggalan Raffles dan menggantinya dengan sistem yang disebut cultuurstelsel. Secara harfiah, cultuurstelsel berarti sistem budaya. Oleh bangsa Indonesia, sistem itu disebut Tanam Paksa atau TP, karena dalam praktiknya rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tarum (nila), tebu, tembakau, kayu manis, dan kapas.

 

Kebijakan tanam paksa adalah sebagai berikut. 1) Mewajibkan setiap desa menyisakan 20 persen tanah untuk ditanami kopi, tebu, dan nila. Hasilnya dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Tanah yang digunakan untuk tanam paksa bebas dari pajak. 2) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian wajib mengerjakan tanah pertanian milik pemerintah selama 66 hari. 3) Waktu mengerjakan tanaman tidak boleh melebihi waktu tanam padi, yakni tiga bulan. 4) Kelebihan hasil produksi akan dikembalikan kepada rakyat. 5) Kerugian tanaman akibat bencana alam atau serangan hama sehingga gagal panen akan ditanggung oleh pemerintah. 6) Pengawasan dalam penggarapan tanam paksa dilakukan oleh para kepala desa.

 

Dalam pelaksanaannya, ternyata tanam paksa berbeda jauh dari konsep awalnya, yaitu sebagai berikut. 1) Tanah milik petani digunakan seluruhnya untuk tanam paksa. 2) Tanah yang digunakan tanam pajak tetap dikenakan pajak. 3) Warga yang tidak mempunyai tanah tetap bekerja di tanah pertanian pemerintahan selama satu tahun penuh.

 

Bagi pemerintah Hindia Belanda, sistem TP berhasil dengan luar biasa. Kas Belanda menjadi surplus sehingga Bosch dipuja-puja sebagai tokoh yang memakmurkan dan menyejahterakan Negeri Belanda. Atas “jasanya” itu, Bosch diberi gelar bangsawan de Graaf. Gelar ini diberikan untuk orang-orang yang berjasa kepada negara. Namun demikian, Sistem TP banyak mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk orang-orang Belanda sendiri karena dianggap lebih kejam dari zaman VOC.

 

Salah satu pengkritik yang paling keras adalah Eduard Douwes Dekker. Kritiknya ditulis dalam sebuah buku (novel) berjudul Max Havelaar dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Isi buku (novel) itu menjelaskan kisah petani yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda dan bertentangan dengan moral Eropa saat itu yang menjunjung tinggi semangat Revolusi Perancis: kesamaan, kebebasan, dan persaudaraan. Sistem TP kemudian dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula.

 

Tujuan dikeluarkan Undang-undang Agraria adalah sebagai berikut. 1) Melindungi hak milik petani dari penguasa dan modal asing. Hal ini reaksi dari pemerintah Belanda yang mengambil alih tanah rakyat dalam TP. 2) Pemodal asing dapat menyewa tanah rakyat seperti halnya di Inggris, Amerika, Jepang, dan Cina. 3) Membuka kesempatan rakyat untuk bekerja menjadi buruh perkebunan.

 

Sementara itu, Undang-undang Gula memberi kesempatan kepada para pengusaha gula untuk mengambil alih pabrik gula milik pemerintah Belanda. Penerapan kedua undang-undang itu melatarbelakangi para pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga era liberalisasi ekonomi dimulai di Indonesia.

 

Politik Pintu Terbuka (1870-1900) 28 Tahun 1850, partai liberal di Belanda memenangkan pemilu sehingga partai ini menjalankan pemerintahan. Perkembangan liberalisme di Belanda dipicu oleh semangat Revolusi Perancis dan revolusi industri Inggris. Dampak dari kemenangan partai liberal adalah diterapkannya sistem ekonomi liberal, termasuk di negeri jajahan (Indonesia). Karena tergantung kepada modal individu dan swasta untuk menggerakkan perekonomian, maka sistem ini disebut sistem kapitalisme.

 

1.      Penerapan Sistem Pintu Terbuka.

Di Indonesia, sistem ekonomi liberal diwujudkan dalam bentuk kebijakan pintu terbuka. Hal tersebut sesuai dengan maksud utama kebijakan ini, yaitu membuka ruang (pintu) seluas-luasnya bagi swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kebijakan ini berhasil menarik minat banyak pengusaha, baik dari asing maupun dari etnis Tionghoa untuk menanamkan modalnya secara besar- besaran. Tidak hanya dalam bidang perkebunan, tetapi juga pertambangan. Berikut ini contoh perkebunan milik swasta asing yang ada di Indonesia.

1)      Perkebunan tembakau di Deli (Sumatra Utara), Kedu, Klaten, dan lain-lain.

2)      Perkebunan tebu di Cirebon dan Semarang.

3)      Perkebunan kina di Jawa Barat.

4)      Perkebunan karet di Palembang dan Sumatra Timur.

5)      Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.

6)      Perkebunan teh di Jawa Barat.

7)      Bersamaan dengan itu, para pengusaha juga mendirikan pabrik teh, tembakau, gula, rokok, dan pabrik cokelat. Sementara itu, pertambangan berkembang di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Batubara di Sumatra Barat dan Selatan, sedangkan timah di Pulau Bangka.

 

2.      Dampak Kebijakan Pintu Terbuka.

Dampak dari Kebijakan Pintu terbuka? Bagi Belanda dan penguasa asing berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka, sedangkan bagi rakyat berdampak pada kesengsaraan dan penderitaan. Kebijakan ini menjadi tempat 29 eksploitasi baru yang tidak berbeda dengan TP. Eksploitasi tersebut adalah eksploitasi manusia dan eksploitasi agraria.

1)      Eksploitasi Manusia.

Eksploitasi manusia ialah pengerahan tenaga manusia yang diwarnai tipu daya dan paksaan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan yang mereka alami di perkebunan. Contohnya adanya hukuman cambuk terhadap para kuli yang melakukan pelanggaran selama bekerja di perkebunan tembakau di Deli, Sumatra. Bagi yang melarikan diri mendapat hukuman denda, disekap, kerja tanpa upah, bahkan dibunuh. Kebijakan ini juga ditandai dengan pengiriman secara besar-besaran dan secara paksa tenaga kerja dari Jawa untuk dipekerjakan   di perkebunan perkebunan Belanda di tanah jajahannya yang lain seperti di Suriname dan Guyana. Sekitar tahun 1890-an, orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikirim ke Suriname mencapai 32.965 orang. Setelah kemerdekaan, mereka hanya sebagian kecil yang kembali ke Indonesia. Perhitungan tahun 1972 sebanyak 57.688 keturunan Jawa berada di Suriname dan pada tahun 2004 berjumlah 71.879.

2)      Eksploitasi Agraria.

Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan-lahan produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun lahan-lahan kosong yang masih berupa hutan untuk dijadikan perkebunan serta areal pertambangan. Pemanfaatan lahan produktif umumnya di Jawa, sedangkan perkebunan di Sumatra, dengan menggunakan lahan-lahan yang masih kosong. Ada beberapa dampak negatif dari kebijakan pintu terbuka bagi masyarakat Jawa, yakni sebagai berikut. :

a) Para priayi dan birokrat kesultanan menyewakan tanah lungguhnya kepada para pengusaha perkebunan swasta asing karena lebih menguntungkan daripada disewakan kepada para petani penggarap.

b)  Di lahan-lahan perkebunan tenaga kerjanya dari rakyat 30 Jawa dan sistem pengupahannya tidak adil karena sangat murah.

c)      Sebagian dari rakyat Jawa dikirim ke Suriname untuk bekerja di perkebunan Belanda.

d)     Para bupati di 18 wilayah keresidenan di Jawa           ikut menyewakan sebagian tanahnya kepada pengusaha perkebunan asing dan memaksa rakyat di 18 keresidenan tersebut bekerja diperkebunan-perkebunan tersebut. 7. Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka. Kebijakan tersebut sebagai tempat untuk mengeksploitasi rakyat sehingga Belanda semakin makmur. Hal ini membuat kaum humanis bersuara lantang. Sudah berabad-abad rakyat menderita demi kemakmuran Belanda sehingga sudah sepantasnya Belanda membalas budi dengan memajukan bangsa Indonesia, bukannya menyengsarakannya. Itulah gagasan dasar yang mendorong lahirnya politik etis. Salah satu penggagas munculnya politik etis adalah Van Deventer. Menurutnya, pemerintah Belanda harus melakukan sesuatu demi kesejahteraan kaum pribumi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia