Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo
pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang
berfusi, yaitu Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah
mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani,
mereka kemudian disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi,
Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi
Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang
lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan
Alatas.
Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun
kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan
dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian
dengan menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional
Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan
surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia
Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan
bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar
Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan
dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya.
Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk menghargai
jasa-jasanya, pemerintah menggunakan nama “Taman Siswa” sebagai nama jalan.
yang menggantikan De Jonge pada tahun 1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg
memodifikasi politiestaat peninggalan De Jonge menjadi beambtenstaat (negara
pegawai) yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi
yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938, anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang dua hari kemudian, M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar