Sultan Hamengku Buwono II atau dikenal dengan Sultan
Sepuh memang tokoh yang tidak
mengenal kompromi dengan pihak asing yang bertujuan menginjak-injak harga diri dan martabat kesultanan
Yogyakarta. Untuk itulah dia berkali kali turun tanhta. Mengikuti pergolakan dan perang di Eropa maka pihak
asing di tanah Jawa pada akhir tahun
1700-an dan awal tahun 1800-an berkutat pada tiga negara yaitu Perancis,
Belanda dan Inggris.
Sultan Sepuh diturunkan dari takhtanya pertama kali
pada tahun 1810 pada saat Daendels
sebagai wakil Perancis dan gubernur jenderal yang berkuasa. Penyebabnya adalah Sultan Sepuh tidak mau tunduk pada
aturan Daendels yang ingin menjadikan Kesultanan
Yogyakarta sebagai bawahannya. Sultan Sepuh tetap memegang tradisi, budaya dan adat istiadat keraton yang akan
diubah Dendels menjadi keraton yang berhaluan liberalisme misalnya tempat duduk raja harus sejajar dengan residen Yogyakarta atau sejajar dengan tempat
duduk gubernur jenderal di Batavia. Karena Sultan
Sepuh menentang maka Daendels mengirim tentara sebanyak 3.200 tentara untuk menggempur Yogyakarta. Akhirnya Sultan sepuh bersedia diturunkan
dari takhtanya dari pada banyak korban di pihak rakyat.
Kesultanan kemudian diserahkan kepada Putra Mahkota
sebagai “Pangeran Wali” yaitu
Pangeran Surojo. Tetapi saat itu walaupun Sultan Sepuh turun takhta tetap diperbolehkan di keraton sehingga segala
keputusan keraton masih dikendalikan oleh Sultan Sepuh. Ketika Inggris
datang ke tanah Jawa merebut
Jawa dari tangan kekuasaan
Perancis-Belanda maka Sultan Sepuh naik takhta lagi menggantikan Putra mahkota.
Ketika Inggris menguasai Jawa dan Sultan Sepuh naik
takhta kembali, Sultan Sepuh juga
tidak mau tunduk kepada aturan yang diberlakukan oleh Inggris di bawah Raffles. Tempat duduk Sultan Sepuh harus lebih tinggi dari residen
Inggris di Yogyakarta dan tempat duduk Raffles
sendiri apabila mereka bertemu dalam sebuah perundingan.
Cara meninggikan tempat duduk itu dengan mengganjal kursi dengan kursi kecil di bawahnya sehingga tampak lebih
tinggi. Hal itu kemudian membuat Raffles
memutuskan menurunkan Sultan sepuh dan diganti dengan Putra mahkota yang naik
takhta.
Akhirnya Raffles
mengultimatum Sultan Sepuh dengan membawa tentara Sepoy dan Inggris agar Sultan Sepuh turun takhta dan kedudukan raja
digantikan Putra Mahkota. Apabila
tidak turun takhta maka keraton Yogyakarta akan diserang Inggris. Karena Sultan Sepuh tidak menuruti
perintah Inggris maka pada tanggal 18, 19 dan
20 Juni 1812 Keraton Yogyakarta diserang tentara Sepoy dan Inggris yang
berjumlah 1200 tentara. Serangan
itu disebut Geger Sepoy karena tentara Inggris membawa prajurit Sepoy dari India sebagai tentara bayaran.
Setelah Keraton Yogyakarta kalah dalam penyerbuan, Sultan Sepuh ditangkap
dan diputuskan dibuang ke Pulau Penang (sekarang wilayah Malaysia).
Sedangkan harta milik keraton Yogyakarta
dijarah habis oleh tentara Sepoy dan tentara Inggris.
Harta itu berupa uang, emas, berlian, keris dan lain sebagainya. Tidak itu saja Kekayaan intelektual milik keraton Yogyakarta baik berupa manuskrip, arsip keraton, gamelan
juga turut dirampas oleh tentara Inggris
dan Sepoy.
Raffles kemudian mengangkat Pangeran Surojo sebagai
Putra Mahkota naik takhta
menjadi Sultan Hamengku Buwono III dan sejak itu Kesultanan Yogyakarta menjadi
kekuasaan Inggris hingga Inggris pergi dari tanah Jawa karena hasil perjanjian London yang mengharuskan
Inggris pergi dari Jawa dan diganti dengan kolonial Belanda
menguasai Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar