Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854. Ia anak seorang uleebalang (hulubalang) bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinannya dengan adik perempuan Raja
Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara
perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati yang berasal
dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan
dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan
perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Salah seorang keturunan
Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap
Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut
kekuasaannya. Berkat jasanya
tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar
Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai
dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh,
Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama
Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang
cerdas, pemberani, dan kadang suka
berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala
persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Meski demikian,
ia mampu menjadi
seorang pemimpin yang kuat,
cerdas, dan pemberani.
Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Umar ikut
serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya. Ketika itu, umurnya
baru menginjak 19 tahun. Mulanya
ia berjuang di kampungnya sendiri,
kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai
keuchik gampong (kepala
desa) di daerah Daya Meulaboh.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak
Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku
Umar kemudian menikah lagi dengan
Nyak Malighai, putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien,
putri pamannya, Teuku Nanta Setia. Suami
Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle
Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama
melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan
senjata dari pihak Belanda. Akhirnya,
Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda.
Belanda berdamai dengan
pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku
Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh.
Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Ketika
bergabung dengan Belanda, Teuku Umar
menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi
Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang
lebih besar. Taktik tersebut berhasil. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, permintaan Teuku Umar untuk menambah
17 orang panglima dan 120 orang prajurit,
termasuk seorang Pang Laot (Panglima Laut) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.
Tahun 1884, Kapal Inggris “Nicero”
terdampar. Kapten dan awak kapalnya
disandera oleh Raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu
dolar tunai. Oleh pemerintah kolonial
Belanda, Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut
telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal
“Nicero” merupakan pekerjaan yang
berat. Sebab, tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali.
Namun, ia sanggup merebut kembali asal diberi logistik
dan senjata yang banyak sehingga
dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan Kapal “Bengkulen” ke Aceh
Barat dengan membawa 32 orang tentara
Belanda dan beberapa panglimanya.
Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan
bahwa semua tentara Belanda yang ikut
dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu, Teuku Umar
kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda.
Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya.
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh dan memimpin kembali perlawanan rakyat. Teuku Umar juga berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien, dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang, Aceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.
Dua tahun setelah
insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke Bandar Rigaih Kapal “Hok Canton”
yang dinakhodai pelaut Denmark bernama
Kapten Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud
menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya, dan membawa lari lada
yang bakal dimuat ke Pelabuhan Ulee
Lheu dan diserahkan kepada Belanda yang telah
menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen dan
mengirim utusan. Hansen berkeras Umar
harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari, salah seorang panglima bersama 40 orang
prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak
tahu kalau dirinya sudah dikepung. Paginya, Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun,
Hansen ingkar janji dan memerintahkan anak buahnya
menangkap Umar.
Teuku Umar sudah siap dan memberi isyarat
kepada anak buahnya.
Hansen berhasil dilumpuhkan
dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera,
sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat
marah karena rencananya gagal. Perang pun berlanjut. Pada tahun 1891,
Teungku Chik Di Tiro dan Teuku
Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda
sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang
terlalu besar dan lama.
Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat
menyengsarakan rakyat. Rakyat tidak
bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik
dengan cara menyerahkan diri kembali kepada
Belanda. September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang
panglima bawahannya setelah mendapat jaminan
keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar “Teuku Johan Pahlawan
Panglima Besar Nederland”.
Istrinya, Cut Nyak Dhien, sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan
suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan. Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda
dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang
datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi
setiap panggilan dari gubernur Belanda
di Kutaraja dan memberikan laporan
yang memuaskan sehingga
ia mendapat kepercayaan yang besar dari gubernur Belanda.
Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi
kepentingan perjuangan rakyat Aceh
selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan, Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi
Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku
Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para pemimpin pejuang
Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan
pertemuan rahasia yang dihadiri para
pemimpin pejuang Aceh untuk membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak
Aceh dengan membawa
lari semua senjata
dan perlengkapan perang milik
Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara di hadapan Belanda
untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh.
Bahkan, gaji yang diberikan
Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk
membiayai perjuangan. Pada 30 Maret
1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000
butir peluru, 500 kilogram amunisi, dan uang 18.000 dolar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan pemerintah kolonial Belanda.
Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.
Tentara baru segera didatangkan dari
Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar untuk menyerahkan kembali
semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi
tuntutan itu. Maka, pada 26 April 1896, Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai
Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.
Teuku Umar mengajak
uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi
Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah
pimpinan Teuku Umar. la dibantu
oleh istrinya, Cut Nyak Dhien, dan Panglima Pang Laot serta mendapat dukungan dari Teuku Panglima
Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah Perang Aceh, tentara Aceh dipegang
oleh satu komando.
Pada Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim
Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung
dengan Panglima Polem. Pada 1 April 1898,
Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah
setianya kepada Raja Aceh Sultan Muhammad
Daud Syah. Pada Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai
kedatangan Teuku Umar di Meulaboh
dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup
kuat di perbatasan Meulaboh. Malam menjelang
11 Februari 1899, Teuku Umar bersama
pasukannya tiba di pinggiran Kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut
ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan
Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
pasukannya adalah bertempur.
Dalam pertempuran itu, Teuku Umar gugur terkena
peluru musuh yang menembus
dadanya. Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian
suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih. Namun, itu bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien
bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan
Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar