Tahukah kalian kapan Indonesia melaksanakan pemilu pertama? Partai mana yang meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif pertama? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut kalian perlu melihat peta kekuatan dan kekuasaan politik yang ada sepanjang tahun 1950—1960- an. Pada masa Demokrasi Liberal hingga Demokrasi Terpimpin terdapat banyak kelompok yang memiliki massa, baik yang berbasis ideologi politik maupun agama. Kekuatan kelompok tersebut memunculkan warna yang beragam pada identitas nasional dan berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Beberapa di antaranya akan dibahas pada subbab berikut.
Gerakan Perempuan
Gerakan Perempuan pada tahun 1950—1960 merupakan salah satu
periode pergerakan paling progresif setelah tahun 1928. Pada periode ini banyak
organisasi perempuan yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan organisasi massa
yang besar. Sebagai contoh Aisyiah dari Muhammadiyah, Muslimat dari Masyumi,
Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) dari NU, Perwari, dan juga Gerakan Wanita Istri
Sedar (Gerwis). Gerwis merupakan gabungan dari ratusan aktivis dan berbagai
organisasi perempuan, misalnya Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar,
Isteri Sedar, Gerakan Wanita Indonesia, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia.
Pada kongres pertama tahun 1951, Gerwis berubah nama menjadi Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia). Pada tahun 1954 PKI memanfaatkan organisasi ini untuk
menggalang suara pada Pemilu 1955.
Selain terkait dengan basis massa yang besar, terdapat isu krusial
yang diangkat pada tahun 1950an di antaranya adalah UU Perkawinan dan isu
poligami. Kalangan organisasi maupun aktivis perempuan, menilai perlunya
dibentuk komisi khusus yang merancang hukum perkawinan yang berpihak pada
perempuan. Untuk itu dibentuk Komisi NTR (Nikah, Talak, Rujuk). Polemik
pembuatan UU Perkawinan masih bergulir sampai dengan berakhirnya pemerintahan
Sukarno dan akhirnya dapat disahkan pada tahun 1974.
Pemilihan Umum
Pertama
Sebagai negara yang
baru melewati masa kemerdekaannya, Indonesia melaksanakan pemilihan umum
pertama kali pada tahun 1955. Apakah kalian pernah membayangkan bagaimana awal
mula dan jalannya Pemilu pertama di Indonesia?
Pada masa Demokrasi Liberal, perubahan kabinet terus-menerus
terjadi. Ini tentu saja menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Untuk
mengatasi hal tersebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU No.7 tahun 1953
tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan umum
ini bertujuan menyederhanakan partai politik dan melaksanakan prinsip
demokrasi. Pada 29 September 1955, pemilu untuk DPR diadakan dengan lebih dari
39 juta pemilih di 16 daerah pemilihan (Kartasasmita, 1984). Saat itu, Pemilu
1955 merupakan peristiwa terbesar kedua setelah peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Sistem pemilihan umum yang digunakan adalah sistem
perwakilan berimbang (proportional representation). Pada Pemilu 1955 terdapat
52 kandidat yang terdiri dari partai politik dan perseorangan. Namun, yang
berhasil memperoleh kursi hanya 27 partai dan 1 calon perseorangan yaitu R.
Soedjono Prawirosoedarso. Empat partai politik yang berhasil memperoleh kursi
DPR di antaranya Partai Nasional Indonesia (57 kursi), Masyumi (57 kursi),
Nahdlatul Ulama (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi).
Berikut ini adalah hasil perolehan kursi pada setiap fraksi:
• Masyumi : 60 anggota • Partai Nasional Indonesia (PNI) : 58 anggota •
Nahdlatul Ulama (NU) : 47 anggota • Partai Komunis Indonesia (PKI) : 32 anggota
Hasil pemilu 1955 memperlihatkan sirkulasi elite kekuasaan yang berbeda dan
polarisasi yang cukup tajam antara partai-partai berbasis agama dan non-agama.
Ketidakstabilan politik pasca-Pemilu 1955 semakin meningkat hingga Kabinet Ali
runtuh dan mengembalikan mandat kepada presiden. Maraknya pergolakan yang
terjadi di daerah dan perdebatan dalam konstituante yang berlarut-larut membuat
Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk Kembali kepada UUD
1945. Melalui dekrit itu, Presiden Sukarno juga membubarkan Konstituante. Sejak
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, sejarah Indonesia memasuki
babak baru yaitu Demokrasi Terpimpin.
Nasionalisme, Agama,
dan Komunis (Nasakom)
Apakah kalian pernah
mendengar istilah Nasakom? Istilah ini diusulkan oleh Sukarno sebagai gambaran
tiga kekuatan revolusioner yang melandasi nasionalisme Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin. Lahirnya Nasakom sebenarnya jauh sebelum era Demokrasi
Terpimpin, tepatnya pada tahun 1926 saat Sukarno menulis sebuah artikel tentang
persatuan tiga konsep gerakan untuk mengusir penjajah yaitu Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme dalam Suluh Indonesia Muda, 1926. (Soekarno, 1964) Tiga
kekuatan revolusioner sebelum kemerdekaan itu direpresentasikan oleh tiga
kelompok. Pertama, kelompok Nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP).
Kedua, golongan umat Islam yang diwakili dalam Sarekat Islam (SI). Ketiga,
golongan komunis yang diwakili oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI). Konsep Nasakom ini diterapkan Sukarno pada
masa Demokrasi Terpimpin. Namun, langkah tersebut tidak serta-merta dapat
diterima oleh rakyat dan tokoh-tokoh politik. Hatta, sebagai wakil presiden
menentang konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom sehingga dua sosok proklamator
itu akhirnya berpisah jalan. Dengan pecahnya dwitunggal, manuver politik
Nasakom semakin digencarkan oleh Sukarno. Kampanye Nasakom dibawa oleh Presiden
Sukarno ke forum internasional. Dalam sidang PBB, 30 September 1960, di New
York, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “To Build The World a New”.
Sukarno membentuk Nasakom untuk menggantikan sistem demokrasi parlementer yang
dianggap tidak bisa menyejahterakan rakyat. Bagi Sukarno, demokrasi parlementer
melindungi sistem kapitalisme yang lebih mengedepankan kaum borjuis (Suleman,
2010). Ideologi Nasakom pun runtuh saat PKI melakukan Gerakan 30 September 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar