Kamis, 18 Juli 2024

Ketersebaran Kekuatan dan Identitas Nasional Baru

Tahukah kalian kapan Indonesia melaksanakan pemilu pertama? Partai mana yang meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif pertama? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut kalian perlu melihat peta kekuatan dan kekuasaan politik yang ada sepanjang tahun 1950—1960- an. Pada masa Demokrasi Liberal hingga Demokrasi Terpimpin terdapat banyak kelompok yang memiliki massa, baik yang berbasis ideologi politik maupun agama. Kekuatan kelompok tersebut memunculkan warna yang beragam pada identitas nasional dan berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Beberapa di antaranya akan dibahas pada subbab berikut.

Gerakan Perempuan

Gerakan Perempuan pada tahun 1950—1960 merupakan salah satu periode pergerakan paling progresif setelah tahun 1928. Pada periode ini banyak organisasi perempuan yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan organisasi massa yang besar. Sebagai contoh Aisyiah dari Muhammadiyah, Muslimat dari Masyumi, Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) dari NU, Perwari, dan juga Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis). Gerwis merupakan gabungan dari ratusan aktivis dan berbagai organisasi perempuan, misalnya Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar, Isteri Sedar, Gerakan Wanita Indonesia, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia. Pada kongres pertama tahun 1951, Gerwis berubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun 1954 PKI memanfaatkan organisasi ini untuk menggalang suara pada Pemilu 1955.

Selain terkait dengan basis massa yang besar, terdapat isu krusial yang diangkat pada tahun 1950an di antaranya adalah UU Perkawinan dan isu poligami. Kalangan organisasi maupun aktivis perempuan, menilai perlunya dibentuk komisi khusus yang merancang hukum perkawinan yang berpihak pada perempuan. Untuk itu dibentuk Komisi NTR (Nikah, Talak, Rujuk). Polemik pembuatan UU Perkawinan masih bergulir sampai dengan berakhirnya pemerintahan Sukarno dan akhirnya dapat disahkan pada tahun 1974.

 

Pemilihan Umum Pertama

 Sebagai negara yang baru melewati masa kemerdekaannya, Indonesia melaksanakan pemilihan umum pertama kali pada tahun 1955. Apakah kalian pernah membayangkan bagaimana awal mula dan jalannya Pemilu pertama di Indonesia?

Pada masa Demokrasi Liberal, perubahan kabinet terus-menerus terjadi. Ini tentu saja menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan umum ini bertujuan menyederhanakan partai politik dan melaksanakan prinsip demokrasi. Pada 29 September 1955, pemilu untuk DPR diadakan dengan lebih dari 39 juta pemilih di 16 daerah pemilihan (Kartasasmita, 1984). Saat itu, Pemilu 1955 merupakan peristiwa terbesar kedua setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sistem pemilihan umum yang digunakan adalah sistem perwakilan berimbang (proportional representation). Pada Pemilu 1955 terdapat 52 kandidat yang terdiri dari partai politik dan perseorangan. Namun, yang berhasil memperoleh kursi hanya 27 partai dan 1 calon perseorangan yaitu R. Soedjono Prawirosoedarso. Empat partai politik yang berhasil memperoleh kursi DPR di antaranya Partai Nasional Indonesia (57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi).

Berikut ini adalah hasil perolehan kursi pada setiap fraksi: • Masyumi : 60 anggota • Partai Nasional Indonesia (PNI) : 58 anggota • Nahdlatul Ulama (NU) : 47 anggota • Partai Komunis Indonesia (PKI) : 32 anggota Hasil pemilu 1955 memperlihatkan sirkulasi elite kekuasaan yang berbeda dan polarisasi yang cukup tajam antara partai-partai berbasis agama dan non-agama. Ketidakstabilan politik pasca-Pemilu 1955 semakin meningkat hingga Kabinet Ali runtuh dan mengembalikan mandat kepada presiden. Maraknya pergolakan yang terjadi di daerah dan perdebatan dalam konstituante yang berlarut-larut membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk Kembali kepada UUD 1945. Melalui dekrit itu, Presiden Sukarno juga membubarkan Konstituante. Sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, sejarah Indonesia memasuki babak baru yaitu Demokrasi Terpimpin.

Nasionalisme, Agama, dan Komunis (Nasakom)

 Apakah kalian pernah mendengar istilah Nasakom? Istilah ini diusulkan oleh Sukarno sebagai gambaran tiga kekuatan revolusioner yang melandasi nasionalisme Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. Lahirnya Nasakom sebenarnya jauh sebelum era Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada tahun 1926 saat Sukarno menulis sebuah artikel tentang persatuan tiga konsep gerakan untuk mengusir penjajah yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dalam Suluh Indonesia Muda, 1926. (Soekarno, 1964) Tiga kekuatan revolusioner sebelum kemerdekaan itu direpresentasikan oleh tiga kelompok. Pertama, kelompok Nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP). Kedua, golongan umat Islam yang diwakili dalam Sarekat Islam (SI). Ketiga, golongan komunis yang diwakili oleh Partai Komunis

Indonesia (PKI). Konsep Nasakom ini diterapkan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Namun, langkah tersebut tidak serta-merta dapat diterima oleh rakyat dan tokoh-tokoh politik. Hatta, sebagai wakil presiden menentang konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom sehingga dua sosok proklamator itu akhirnya berpisah jalan. Dengan pecahnya dwitunggal, manuver politik Nasakom semakin digencarkan oleh Sukarno. Kampanye Nasakom dibawa oleh Presiden Sukarno ke forum internasional. Dalam sidang PBB, 30 September 1960, di New York, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “To Build The World a New”. Sukarno membentuk Nasakom untuk menggantikan sistem demokrasi parlementer yang dianggap tidak bisa menyejahterakan rakyat. Bagi Sukarno, demokrasi parlementer melindungi sistem kapitalisme yang lebih mengedepankan kaum borjuis (Suleman, 2010). Ideologi Nasakom pun runtuh saat PKI melakukan Gerakan 30 September 1965

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia