Rabu, 15 Juni 2022

Politik Etis

 Kebijakan politik etis menyangkut dua bidang, yakni politik dan ekonomi. Dalam bidang politik adalah diberlakukannya kebijakan desentralisasi, yaitu memberikan ruang, peran, serta Salam Historia Dari orang-orang Belanda ternyata ada yang peduli terhadap penderitaan rakyat, yakni Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Dialah yang menghentikan praktek jahat Tanam Paksa karena karya novelnya yang berjudul “Akulah yang Menderita” atau Max Havelaar. Sikap kritis terhadap pemerintah Belanda rupanya menurun pada cucunya yang bernama Ernest Francois Eugene Dekker alias Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setyabudi), pendiri Indische Partij yang tergabung dalam kelompok tiga serangkai bersama Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusuma. kesempatan bagi orang-orang Indonesia untuk memikirkan nasib dan masa depannya sendiri dengan melibatkan mereka di dewan-dewan lokal, yaitu sebuah dewan rakyat (masuk dalam pemerintahan) yang dikenal dengan Volksraad (Dewan Rakyat). Dewan ini semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui dewan ini, aspirasi rakyat disalurkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di dewan ini.

1)       Rencana Politik Etis. 

Dalam bidang ekonomi diberlakukan Trias van Deventer, yaitu: 1. Irigasi (pengairan) yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian. 2. Migrasi yaitu mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga terjadi keseimbangan jumlah penduduk. 3. Edukasi yaitu menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan

2)       Penyimpangan Politik Etis

Sekilas gagasan van Deventer sangat mulia, tetapi pada kenyataanya tidak seindah gagasannya. Penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut :

 

a)      Irigasi. Perairan hanya dialirkan kepada tanah-tanah perkebunan swasta, bukan tanah-tanah pertanian rakyat.

 

b)      Migrasi. Rakyat yang diberangkatkan ke luar Pulau Jawa ternyata hanya untuk bekerja di perkebunan milik pengusaha Belanda dan asing. Rakyat yang ikut program ini dijadikan kuli kontrak seperti di Lampung dan Sumatra Utara. Karena tidak sesuai dengan tujuan awal, banyak rakyat melarikan diri dan kembali ke daerah asal. Bagi yang melarikan diri dan tertangkap akan diberi hukuman dan dikembalikan untuk bekerja lagi.

 

c)      Edukasi. Pengajaran hanya untuk anak-anak pegawai negeri, bangsawan, dan orang-orang mampu dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Rakyat biasa hanya diberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung sampai kelas 2 dengan pengantar bahasa Melayu. Politik etis dalam bidang pengajaran juga tidak mengakomodasi orang asing seperti Cina dan Arab. Untuk itu, orang Cina mendirikan pendidikan Tiong Hoa Hak Tong dan Arab mendirikan madrasah. Pelaksanaan pendidikan yang tidak merata mendorong munculnya sekolah nonpemerintah seperti Taman Siswa, Perguruan Muhammadiyah, dan pendidikan kaum perempuan yang digagasR.A. Kartini. 

3)       Dampak Politik Etis.

Terlepas dari segala penyimpangan, ternyata politik etis membawa efek positif bagi pendidikan di Indonesia. Salah satu orang dari kelompok etis yang bernama Mr. Abendanon (sahabat R.A. Kartini) berjasa mendirikan sekolah- sekolah, baik untuk priayi maupun rakyat biasa. Kian terbukanya sekolah- sekolah untuk pribumi menjadikan pemuda Indonesia berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik sehingga lahirlah Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, sampai pada tokoh sentral seperti Ir. Sukarno.

 

 

Tanam Paksa Dan Politik Pintu Terbuka

Pada masa Van den Bosch (1830-1870) sebagai gubernur jenderal yang baru diberi tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk tugas itu, Van den Bosch menerapkan kebijakan sebagai berikut. Bosch menghapus sistem sewa tanah peninggalan Raffles dan menggantinya dengan sistem yang disebut cultuurstelsel. Secara harfiah, cultuurstelsel berarti sistem budaya. Oleh bangsa Indonesia, sistem itu disebut Tanam Paksa atau TP, karena dalam praktiknya rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tarum (nila), tebu, tembakau, kayu manis, dan kapas.

 

Kebijakan tanam paksa adalah sebagai berikut. 1) Mewajibkan setiap desa menyisakan 20 persen tanah untuk ditanami kopi, tebu, dan nila. Hasilnya dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Tanah yang digunakan untuk tanam paksa bebas dari pajak. 2) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian wajib mengerjakan tanah pertanian milik pemerintah selama 66 hari. 3) Waktu mengerjakan tanaman tidak boleh melebihi waktu tanam padi, yakni tiga bulan. 4) Kelebihan hasil produksi akan dikembalikan kepada rakyat. 5) Kerugian tanaman akibat bencana alam atau serangan hama sehingga gagal panen akan ditanggung oleh pemerintah. 6) Pengawasan dalam penggarapan tanam paksa dilakukan oleh para kepala desa.

 

Dalam pelaksanaannya, ternyata tanam paksa berbeda jauh dari konsep awalnya, yaitu sebagai berikut. 1) Tanah milik petani digunakan seluruhnya untuk tanam paksa. 2) Tanah yang digunakan tanam pajak tetap dikenakan pajak. 3) Warga yang tidak mempunyai tanah tetap bekerja di tanah pertanian pemerintahan selama satu tahun penuh.

 

Bagi pemerintah Hindia Belanda, sistem TP berhasil dengan luar biasa. Kas Belanda menjadi surplus sehingga Bosch dipuja-puja sebagai tokoh yang memakmurkan dan menyejahterakan Negeri Belanda. Atas “jasanya” itu, Bosch diberi gelar bangsawan de Graaf. Gelar ini diberikan untuk orang-orang yang berjasa kepada negara. Namun demikian, Sistem TP banyak mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk orang-orang Belanda sendiri karena dianggap lebih kejam dari zaman VOC.

 

Salah satu pengkritik yang paling keras adalah Eduard Douwes Dekker. Kritiknya ditulis dalam sebuah buku (novel) berjudul Max Havelaar dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Isi buku (novel) itu menjelaskan kisah petani yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda dan bertentangan dengan moral Eropa saat itu yang menjunjung tinggi semangat Revolusi Perancis: kesamaan, kebebasan, dan persaudaraan. Sistem TP kemudian dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula.

 

Tujuan dikeluarkan Undang-undang Agraria adalah sebagai berikut. 1) Melindungi hak milik petani dari penguasa dan modal asing. Hal ini reaksi dari pemerintah Belanda yang mengambil alih tanah rakyat dalam TP. 2) Pemodal asing dapat menyewa tanah rakyat seperti halnya di Inggris, Amerika, Jepang, dan Cina. 3) Membuka kesempatan rakyat untuk bekerja menjadi buruh perkebunan.

 

Sementara itu, Undang-undang Gula memberi kesempatan kepada para pengusaha gula untuk mengambil alih pabrik gula milik pemerintah Belanda. Penerapan kedua undang-undang itu melatarbelakangi para pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga era liberalisasi ekonomi dimulai di Indonesia.

 

Politik Pintu Terbuka (1870-1900) 28 Tahun 1850, partai liberal di Belanda memenangkan pemilu sehingga partai ini menjalankan pemerintahan. Perkembangan liberalisme di Belanda dipicu oleh semangat Revolusi Perancis dan revolusi industri Inggris. Dampak dari kemenangan partai liberal adalah diterapkannya sistem ekonomi liberal, termasuk di negeri jajahan (Indonesia). Karena tergantung kepada modal individu dan swasta untuk menggerakkan perekonomian, maka sistem ini disebut sistem kapitalisme.

 

1.      Penerapan Sistem Pintu Terbuka.

Di Indonesia, sistem ekonomi liberal diwujudkan dalam bentuk kebijakan pintu terbuka. Hal tersebut sesuai dengan maksud utama kebijakan ini, yaitu membuka ruang (pintu) seluas-luasnya bagi swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kebijakan ini berhasil menarik minat banyak pengusaha, baik dari asing maupun dari etnis Tionghoa untuk menanamkan modalnya secara besar- besaran. Tidak hanya dalam bidang perkebunan, tetapi juga pertambangan. Berikut ini contoh perkebunan milik swasta asing yang ada di Indonesia.

1)      Perkebunan tembakau di Deli (Sumatra Utara), Kedu, Klaten, dan lain-lain.

2)      Perkebunan tebu di Cirebon dan Semarang.

3)      Perkebunan kina di Jawa Barat.

4)      Perkebunan karet di Palembang dan Sumatra Timur.

5)      Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.

6)      Perkebunan teh di Jawa Barat.

7)      Bersamaan dengan itu, para pengusaha juga mendirikan pabrik teh, tembakau, gula, rokok, dan pabrik cokelat. Sementara itu, pertambangan berkembang di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Batubara di Sumatra Barat dan Selatan, sedangkan timah di Pulau Bangka.

 

2.      Dampak Kebijakan Pintu Terbuka.

Dampak dari Kebijakan Pintu terbuka? Bagi Belanda dan penguasa asing berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka, sedangkan bagi rakyat berdampak pada kesengsaraan dan penderitaan. Kebijakan ini menjadi tempat 29 eksploitasi baru yang tidak berbeda dengan TP. Eksploitasi tersebut adalah eksploitasi manusia dan eksploitasi agraria.

1)      Eksploitasi Manusia.

Eksploitasi manusia ialah pengerahan tenaga manusia yang diwarnai tipu daya dan paksaan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan yang mereka alami di perkebunan. Contohnya adanya hukuman cambuk terhadap para kuli yang melakukan pelanggaran selama bekerja di perkebunan tembakau di Deli, Sumatra. Bagi yang melarikan diri mendapat hukuman denda, disekap, kerja tanpa upah, bahkan dibunuh. Kebijakan ini juga ditandai dengan pengiriman secara besar-besaran dan secara paksa tenaga kerja dari Jawa untuk dipekerjakan   di perkebunan perkebunan Belanda di tanah jajahannya yang lain seperti di Suriname dan Guyana. Sekitar tahun 1890-an, orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikirim ke Suriname mencapai 32.965 orang. Setelah kemerdekaan, mereka hanya sebagian kecil yang kembali ke Indonesia. Perhitungan tahun 1972 sebanyak 57.688 keturunan Jawa berada di Suriname dan pada tahun 2004 berjumlah 71.879.

2)      Eksploitasi Agraria.

Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan-lahan produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun lahan-lahan kosong yang masih berupa hutan untuk dijadikan perkebunan serta areal pertambangan. Pemanfaatan lahan produktif umumnya di Jawa, sedangkan perkebunan di Sumatra, dengan menggunakan lahan-lahan yang masih kosong. Ada beberapa dampak negatif dari kebijakan pintu terbuka bagi masyarakat Jawa, yakni sebagai berikut. :

a) Para priayi dan birokrat kesultanan menyewakan tanah lungguhnya kepada para pengusaha perkebunan swasta asing karena lebih menguntungkan daripada disewakan kepada para petani penggarap.

b)  Di lahan-lahan perkebunan tenaga kerjanya dari rakyat 30 Jawa dan sistem pengupahannya tidak adil karena sangat murah.

c)      Sebagian dari rakyat Jawa dikirim ke Suriname untuk bekerja di perkebunan Belanda.

d)     Para bupati di 18 wilayah keresidenan di Jawa           ikut menyewakan sebagian tanahnya kepada pengusaha perkebunan asing dan memaksa rakyat di 18 keresidenan tersebut bekerja diperkebunan-perkebunan tersebut. 7. Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka. Kebijakan tersebut sebagai tempat untuk mengeksploitasi rakyat sehingga Belanda semakin makmur. Hal ini membuat kaum humanis bersuara lantang. Sudah berabad-abad rakyat menderita demi kemakmuran Belanda sehingga sudah sepantasnya Belanda membalas budi dengan memajukan bangsa Indonesia, bukannya menyengsarakannya. Itulah gagasan dasar yang mendorong lahirnya politik etis. Salah satu penggagas munculnya politik etis adalah Van Deventer. Menurutnya, pemerintah Belanda harus melakukan sesuatu demi kesejahteraan kaum pribumi.

 

Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)

Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

 

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran DiponegoroPerlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830) Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada permulaan abad ke- 19.

 

Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran Diponegoro menjadi raja karena selain berstatus putra tertua, ia juga cakap, ahli agama, dan dianggap mampu melaksanakan cita-cita leluhurnya.

 

Bahkan, Inggris menyarankan kepada Sultan Hamengkubuwano III untuk mengangkat Diponegoro menjadi putra mahkota. Namun, Diponegoro tidak mau dengan alasan bukan putra dari permaisuri (garwa padmi). Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar, lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono III tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

 

Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.

a.       Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).

b.      Adanya kebencian dari rakyat pada umumnya dan para petani pada khususnya karena tekanan pajak yang sangat memberatkan.

c.       Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak haknya banyak yang dikurangi.

d.        Sebagai alasannya, secara khusus ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.

 

Pertempuran pertama meletus pada 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di kawasan Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat.


Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke banyak daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain, maka pada pertempuran tahun 1825- 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.

 

Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut. a. Siasat benteng stelsel yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827. 67 b. Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda. c. Siasat dukungan hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro. d. Siasat tipu muslihat, yaitu usul berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.

 

Dengan banyak sekali tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap pada 19 Januari 1827), Pangeran Serang serta Notoprodjo (menyerah pada 21 Juni 1827), Pangeran Mangkubumi (menyerah pada 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah pada 24 Oktober 1829). Semua itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.

 

Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal de Kock melaksanakan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji, apabila perundingan gagal, maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan.

 

Atas dasar komitmen tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap saat perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia, dipindahkan ke Manado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.

 

Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)

  

Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama dan pemimpin yang memiliki peran penting dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803-1838. Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada 1772. Ia merupakan anak dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang alim ulama, Imam Bonjol dididik dan dibesarkan secara Islami.

 

Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Ia adalah sosok yang ingin menegakkan kebenaran. Perjalanan Tuanku Imam Bonjol dalam menegakkan kebenaran terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut.

 

a.       Periode 1803-1821. 

Ketika itu kaum Padri, yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol, hendak membersihkan dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan Pagaruyung menghendaki Islam yang berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW. Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak hingga akhirnya kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar.

 

b. Periode 1821-1825.

 

Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung. Meskipun dibantu oleh kekuatan dan pasukan kolonial dalam peperangan, kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri, yang kala itu telah


diamanahkan kepada Imam Bonjol, untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.

 

c. Periode 1825-1830.

Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang terjadi Perang Diponegoro. Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus mengerahkan kekuatan militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol. Pada 29 Oktober 1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata. Setelah perjanjian itu, selama empat tahun Tanah Minangkabau aman, tidak ada peperangan antara kaum Padri dengan Belanda.

 

d. Periode 1830-1838.

Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan tahun 1832, Belanda mengirimkan pasukannya ke Sumatra Barat. Benteng Padri berhasil direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833, benteng itu dapat direbut kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda. Belanda terus berusaha menundukkan Iman Bonjol. Kemudian, Belanda menggunakan siasat benteng. Pasukan Belanda dipimpin Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama melawan Belanda.

 

Pada tahun 1833, kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu-membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsensus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan agama. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin menyulitkan pasukan Hindia Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum Padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri. Hindia Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.

 

Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada tahun 1837, mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.

 

Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol mengembuskan napas terakhirnya pada 8 November 1864. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti, seluruh perlawanan dari kaum Padri berhasil dipatahkan oleh Belanda.

 

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia