Kemunculan organisasi-organisasi wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini untuk memperjuangkan kedudukan sosial wanita. Pada awal kemunculannya, pergerakan wanita belum begitu mempersoalkan masalah-masalah yang menyangkut politik, fokus mereka adalah pada perbaikan dalam hidup berkeluarga dan meningkatkan kecakapan sebagai seorang ibu.
Pada tahun 1912, atas segala usaha Budi Utomo, berdirilah organisasi Putri Merdika di Jakarta. Organisasi ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Kemunculan Putri Merdika kemudian disusul oleh munculnya organisasi pendidikan Kautaman Istri yang dirintis oleh Dewi Sartika sejak tahun 1904, sebelum akhirnya berubah menjadi Vereninging Kaoetaman Istri.
Mulai tahun 1910, sekolah ini diurus oleh sebuah panitia yang terdiri dari Njonja Directour Opleidingschool, Raden Ajoe Regent, Raden Ajoe Patih, dan Raden Ajoe Hoofd-Djaksa. Selanjutnya, Kautaman Istri berdiri di beberapa wilayah lain, yakni Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). Organisasi-organisasi wanita juga muncul di daerah Jawa Tengah seperti Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jepara (1915).
Organisasi-organisasi tersebut memfokuskan pada pelatihan untuk memajukan kecapakan wanita, khususnya kecakapan rumah tangga. Selain itu juga bertujuan untuk mempererat persaudaraan antara kaum ibu. Tidak hanya di Jawa, organisasi- organisasi wanita juga bermunculan di luar Jawa. Di antaranya adalah “Kaoetaman Istri Minangkabau” di Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai Setia” di Kota Gedang, Sumatra Barat tahun 1914. Banyak keterampilan kerumahtanggaan diajarkan di sekolah-sekolah ini.
Salah satu tokoh wanita yang berpengaruh di luar Jawa adalah Maria Walanda Maramis. Pada tahun 1918, melalui perkumpulan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (P.J.K.A.T) yang dibentuknya, pada tahun 1917 ia mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado dengan 20 murid tamatan sekolah dasar.
Setelah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya, terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama organisasi politik induk. Dengan semakin bertambahnya organisasi wanita, setiap organisasi politik mempunyai bagian kewanitaan, misalnya Wanudyo Utomo yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Namun, tidak semua organisasi wanita yang muncul selalu identik dengan politik. Salah satu contohnya adalah kemunculan ‘Aisyiyah di Muhammadiyah yang memfokuskan tujuannya pada kegiatan sosial keagamaan.
Beberapa organisasi di atas, ada jenis organisasi wanita lain yang merupakan organisasi terpelajar seperti Putri Indonesia, JIB dames Afdeling, Jong Java bagian wanita, organisasi Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Dari beberapa jenis organisasi wanita tersebut, paham kebangsaan dan persatuan Indonesia juga diterima di kalangan organisasi ini. Oleh karena itu, untuk membulatkan tekad dan mendukung persatuan Indonesia, diadakan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22-25 November 1928. Kongres tersebut bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan memajukan wanita Indonesia serta membuat gabungan organisasi wanita. Beberapa organisasi yang hadir dalam kongres tersebut ialah Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanito Mulyo, ‘Aisyiyah, SI bagian wanita, dan lain-lain.
Kongres ini menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Setahun kemudian, pada 28-31 Desember 1929, PPI mengadakan kongres di Jakarta. Pokok pembahasan di dalam kongres masih mengenai kedudukan wanita dan antipoligami. Selain itu, kongres juga memutuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang bertujuan untuk memperbaiki nasib dan derajat wanita Indonesia. Dengan dana yang dikumpulkannya, diharapkan mampu memperbaiki nasib wanita pada masa itu.
Organisasi ini tidak mencampuri politik dan agama. Pada tahun 1930, atas anjuran PNI, didirikan organisasi wanita kebangsaan bernama Istri Sedar (IS) di Bandung. Organisasi ini memusatkan tenaganya di bidang ekonomi dan kemajuan wanita. IS bersikap netral terhadap agama dan menjangkau semua lapisan wanita, baik golongan atas atau bawah. IS juga tidak secara langsung terjun ke dalam politik, tetapi pemerintah selalu mengamati aktivitas organisasi itu, terutama setelah mengadakan kongres pada 4-7 Juni 1931. Dalam propagandanya, IS sering menyuarakan antikolonial. Selain itu, ada sebuah organisasi wanita yang sangat mengecam pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan “Mardi Wanita” yang didirikan tahun 1933 oleh anggota-anggota wanita partai politik Partai Indonesia (Partindo) setelah partai ini dikenakan vergadeverbod (larangan mengadakan rapat) oleh pemerintah kolonial.
Organisasi ini mempunyai banyak cabang terutama di Jawa Tengah dan namanya diganti menjadi “Persatuan Marhaen Indonesia” yang berpusat di Yogyakarta. Akan tetapi, setahun kemudian, organisasi ini dikenai larangan dan ketuanya, S.K. Trimurti dimasukkan ke penjara karena masalah pamflet. PPII dan IS dapat dikatakan sebagai organisasi wanita yang berpengaruh saat itu. Namun, keduanya justru larut ke dalam konflik antarorganisasi. Sejak awal pendiriannya, IS terus berselisih dengan PPII. IS mencemooh karena PPII hanya bergerak untuk memajukan sejahteraan wanita seperti di negara merdeka. Menurutnya, perjuangan wanita sudah sewajarnya masuk ke lapangan politik. Di satu sisi, PPII sebagai federasi organisasi wanita tidak dapat bekerja sama dengan IS yang lebih banyak menyerang federasi itu. Akan tetapi, keduanya juga saling bekerja sama dalam rangka pengiriman delegasi kongres Wanita Asia di Lahore.
Pada 20-24 Juli 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) kedua diadakan di Jakarta. Beberapa keputusan KPI adalah mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia. Selain itu, juga didirikan pula Badan Kongres Perempuan Indonesia sekaligus mengakhiri kiprah PPII. Selanjutnya, KPI ketiga diadakan di Bandung pada 25-28 105 Juli 1938. Kongres tersebut menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. Peringatan hari ibu setiap tahun diharapkan dapat mendorong kesadaran wanita Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa. Dengan mulai banyaknya kaum wanita yang bekerja di lapangan, maka dirasakan perlunya membentuk sebuah organisasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1940 di Jakarta dibentuk perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia (PPI) yang terdiri dari mereka yang bekerja di kantor-kantor pemerintah atau swasta, guru, perawat, dan buruh. Mereka menyatukan diri meskipun bekerja di bidang yang berbeda-beda karena mereka merasa senasib, yakni diskriminasi kaum wanita terlihat jelas dalam kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Kendati demikian, perkumpulan itu tidak melakukan kegiatan sebagai serikat pekerja, melainkan menekankan pada pendidikan keterampilan untuk mata pencaharian dan pembentukan kesadaran nasional. Satu hal yang juga mencerminkan kemajuan wanita adalah terbentuknya perkumpulan dalam kalangan mahasiswi dengan nama Indonesische Vrouwelijke Studentedvereniging (perkumpulan mahasiswi Indonesia) di Jakarta pada tahun 1940. Kegiatan organisasi- organisasi wanita dalam tahun sebelum pecah Perang Pasifik yang pantas dicatat adalah rapat protes yang diselenggarakan atas prakarsa delapan perkumpulan.
Protes ini muncul karena tidak adanya anggota wanita dalam Volksraad (semacam DPR sekarang). Rapat ini diadakan di Gedung Permufakatan Indonesia, Gang Kenari, Jakarta, yang dihadiri 500 dari 45 perkumpulan. Organisasi-organisasi itu juga mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen sebagai wakil rakyat. Dapat dikatakan bahwa dalam periode ini kaum wanita telah menaruh perhatian pada perjuangan politik, baik dengan sikap kooperatif maupun nonkooperatif dengan pemerintah kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar