Persoalan upaya mempertahankan kemerdekaan bukan hanya berada pada pundak para elite negara dan militer, melainkan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, rakyat Indonesia rela bertaruh nyawa dan bahu-membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut berbagai peran masyarakat Indonesia pada masa Revolusi Nasional.
Peran Perempuan
Pemerintah RI menyerukan para perempuan yang sebelumnya
tergabung dalam Fujinkai (organisasi wanita bentukan Jepang) agar masuk dalam
berbagai wadah organisasi perempuan Indonesia. Dengan demikian, para perempuan
Indonesia segera dapat menyalurkan tenaganya untuk kepentingan perjuangan,
terutama dalam bidang-bidang sosial. Menarik untuk dicermati, meski sebagian
besar tidak turut langsung memanggul senjata dalam perlawanan, kaum perempuan
seringkali berada di garis depan sebagai informan dan penyalur kebutuhan para
pejuang. Di beberapa daerah, para istri dan remaja putri mengorganisasi diri
untuk memenuhi kebutuhan logistik, obat-obatan, bahkan pembiayaan perang.
Selama masa Revolusi, perempuan Indonesia berjuang melalui berbagai cara sesuai
dengan kemampuan dan kondisi daerah masing-masing
Peran Medis dan
Kesehatan
Dalam situasi perang
yang rentan menimbulkan korban, bidang medis dan kesehatan menjadi faktor
penunjang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di Aceh, para
perempuan anggota Palang Merah Indonesia membentuk satuan tugas yang selalu
siaga dikirim dan diberangkatkan ke medan laga untuk menolong korban perang.
Sementara itu, para perempuan di Sulawesi Utara berulang kali berjuang untuk
menerobos blokade dan pertahanan Belanda untuk mencari obat-obatan yang saat
itu sukar diperoleh. Peran serupa juga dilakukan oleh anggota perempuan palang
merah di Bali. Mereka menjalin kontak rahasia dengan rekan di kota-kota untuk
menyalurkan bantuan ke desa dan daerah gerilya. Dengan ketrampilannya, para
perempuan Bali ini juga meramu berbagai tanaman obat untuk mengatasi kekurangan
obat-obatan. Di Indonesia timur, para perempuan Maluku juga berperan aktif
sebagai tenaga sukarela di berbagai rumah sakit sebagai tenaga perawat. Bahkan,
tak sedikit dari mereka yang membantu perjuangan di Jawa. Pada masa Agresi
Militer Belanda, para tenaga medis dari Maluku ini tercatat bertugas memeriksa
para pengungsi yang berpindah dan datang ke Yogyakarta.
Pendidikan
Meski di masa perang, pendidikan terhadap generasi penerus
bangsa tetap harus dilaksanakan. Selepas kemerdekan, pelajar putri di Aceh
diberian pelatihan kepanduan untuk melatih kemampuan intelijen dan perkembangan
fisik, semangat, dan cinta tanah air. Saat Revolusi pecah, para perempuan di
Aceh menjadi guru sukarela untuk mendidik anak-anak bangsa dan memberantas buta
huruf di Sekolah Rendah. Hal serupa juga dilakukan para perempuan pejuang di
Tondano dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Bangsa pada November 1945. Yayasan
ini mendirikan Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan (SMRK). Sekolah ini
senantiasa juga menyisipkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan secara
sembunyi-sembunyi di setiap pembelajarannya.
Dapur Umum dan Logistik Keberlangsungan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan tidak akan lama apabila tidak ada asupan makanan
yang memadai. Karenanya, keberadaan dapur umum yang dikelola oleh para perempuan
berperan sangat penting dalam perjuangan. Tak heran, keberadaan markas para
pejuang selalu diiringi dengan keberadaan dapur umum. Di Maluku, para istri dan
remaja putri Barisan Pejuang Indonesia mendirikan dapur umum untuk menyediakan
makanan serta tempat tinggal bagi para pejuang dan pengungsi. Para istri ini
juga menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarga di saat suami mereka
berperang di garis depan. Sementara itu di Aceh, selain membuat dapur umum
untuk gerilyawan, para perempuan Aceh secara spontan dan sukarela menggalang
dana dengan cara memberikan perhiasan dan barang berharga lainnya. Dana itu
salah satunya digunakan untuk pembelian pesawat Dakora RI-001 Seulawah, pesawat
pertama milik RI.
Peran Seniman dan
Sastrawan
Dibanding para politisi dan militer, peran para seniman dan
sastrawan memang kurang menonjol dalam catatan sejarah. Namun, peran mereka
dalam perjuangan kemerdekaan cukup penting dan masih bisa kita nikmati hingga
saat ini. Sebagai bentuk ekspresi diri, karya para seniman di masa kemerdekaan
membangkitkan semangat juang dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah.
Karya ini ada yang dituangkan dalam medium tembok dan selebaran, ada juga yang
mengisi ilustrasi atau karikatur di surat kabar. Mereka menggunakan alat dan media
yang sangat sederhana untuk berkarya. Namun, keterbatasan tersebut tidak
menghalangi para seniman untuk menyebarkan semangat perjuangan.
Peristiwa perang kemerdekaan dan masa revolusi rupanya ikut
membentuk dan mengasah karakter seniman lukis Indonesia. Seniman yang mengalami
masa revolusi memiliki rekaman situasi kehidupan pada masa perjuangan fisik
yang dituang melalui karya. Beberapa maestro lukis Indonesia seperti S.
Sudjojono, Affandi, Dullah, dan Hendra Gunawan adalah contohnya. Di bidang seni
peran, para seniman juga turut ambil bagian. Prihatini (2015) menengarai
perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta menjadi titik penting perkembangan
seni peran di masa revolusi. Para seniman berulang kali mengungsi bersama
rakyat dan pejuang lainnya. Pengalaman ini mereka tuangkan melalui sandiwara
dan seni teater sebagai bahan refleksi sekaligus hiburan bagi rakyat. Beberapa
contoh cerita yang dipentaskan di antaranya “Semarang”; “Awan Berarak”
disutradarai oleh Murtono; “Mutiara dari Nusa Laut” karya Usmar Ismail, Sri
Murtono, dan Djayakusuma; “Kisah Pendudukan Yogya” disutradarai oleh Dr.
Huyung. Salah satu seniman peran yang produktif adalah Sri Murtono dengan
karyanya “Di belakang Kedok Jelita”, “Revolusi”, “Di Depan Pintu Bharatayuda”,
dan “Tidurlah Anakku”. Di bidang seni musik, lagu-lagu propaganda menjadi
pembakar semangat rakyat dan para pejuang. Lagu “Maju Tak Gentar” dan
“SorakSorak Bergembira” diciptakan oleh Cornel Simanjuntak pada awal masa
revolusi. Kedua lagu ini lahir dalam konteks pertempuran pemuda Indonesia
melawan Belanda dan sekutu yang tidak seimbang dari segi
peralatan senjata. “Maju Tak Gentar” dan “Bagimu Negeri”
berupaya memotivasi perjuangan pemuda Indonesia dalam membela tanah air
Lagu-lagu perjuangan juga berfungsi sebagai pengingat peristiwa revolusi,
misalnya lagu “Halo-Halo Bandung” karya Ismail Marzuki yang merekam peristiwa
Bandung Lautan Api. Pada masa revolusi, para sastrawan ikut berjuang dengan
menghasilkan karya yang mampu memperkaya pengalaman, menanamkan kesadaran, dan
menumbuhkan kepekaan. Salah satu pengarang produktif di masa Revolusi adalah
Pramoedya Ananta Toer. Antara tahun 1947 —1957, ia telah melahirkan enam novel
dan beberapa kumpulan cerpen berlatar masa Revolusi. Beberapa di antaranya
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Keluarga Gerilya (1950), Dia yang Menyerah (1951)
, dan Bukan Pasar Malam (1951). Selain Pram, ada juga Idrus yang menulis karya
berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948). Buku ini merupakan
kumpulan kisah-kisah dari zaman pendudukan Jepang hingga revolusi fisik di
antaranya berjudul “Surabaya”, “Dari Ave Maria”, “Jalan Lain ke Roma”
Peran Pelajar dan
Mahasiswa
Keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia
memunculkan komitmen seluruh masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk
kelompok pelajar. Pada Juli 1945, para pelajar setingkat SMP dan SMA di
Surabaya pada Juli 1945 berikrar untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Pada 25 September 1945, di Yogyakarta diselenggarakan rapat umum
yang dihadiri para pemudadan peajar dari Jawa dan Madura. Pada September 1945,
para pelajar Magelang membentuk Gabungan Sekolah Menengah yang kemudian melebur
dengan Ikatan Pelajar Indonesia Kedu. Pembentukan perkumpulan-perkumpulan
pelajar di beberapa wilayah di Indonesia tersebut menunjukkan tumbuhnya rasa
patriotisme pelajar Indonesia. Semangat inilah yang kemudian menjadi latar
belakang lahirnya organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).
Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, para
pengurus IPI juga ikut mengungsi. Di ibu kota yag baru ini, para anggota IPI
menginginkan. adanya pasukan tempur sendiri dari kelompok pelajar. Oleh karena
itu, IPI membentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP) yang merupakan cabang di
bagian pertahanan. MPP memiliki tiga resimen yang tersebar di Jawa timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat. Pada 17 Juli 1946, di Lapangan Pingit Yogyakarta, Mayor
Jenderal dr. Moestopo resmi melantik dan mengukuhkan pasukan pelajar ini
sebagai Tentara Pelajar. Di samping latihan rutin baris-berbaris dan bela
negara, Tentara Pelajar ini juga aktif menjalankan perannya sebagai pelajar.
Ketika keadaan genting dan tugas negara memanggil, dengan segera para pasukan
intelektual ini berubah peran menjadi tentara pelajar. Saat terjadi Agresi
Militer Belanda II, Tentara Pelajar Indonesia masuk ke dalam jajaran Brigade 17
TNI di bawah kendali Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Keberadaan Tentara
Pelajar memang secara resmi dibubarkan pada awal 1951. Namun, peran aktif
pelajar sebagai generasi penerus dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan
senantiasa tak lekang oleh zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar