Kamis, 18 Juli 2024

Peran Rakyat dalam Revolusi Nasional

Persoalan upaya mempertahankan kemerdekaan bukan hanya berada pada pundak para elite negara dan militer, melainkan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, rakyat Indonesia rela bertaruh nyawa dan bahu-membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut berbagai peran masyarakat Indonesia pada masa Revolusi Nasional.

Peran Perempuan

Pemerintah RI menyerukan para perempuan yang sebelumnya tergabung dalam Fujinkai (organisasi wanita bentukan Jepang) agar masuk dalam berbagai wadah organisasi perempuan Indonesia. Dengan demikian, para perempuan Indonesia segera dapat menyalurkan tenaganya untuk kepentingan perjuangan, terutama dalam bidang-bidang sosial. Menarik untuk dicermati, meski sebagian besar tidak turut langsung memanggul senjata dalam perlawanan, kaum perempuan seringkali berada di garis depan sebagai informan dan penyalur kebutuhan para pejuang. Di beberapa daerah, para istri dan remaja putri mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan logistik, obat-obatan, bahkan pembiayaan perang. Selama masa Revolusi, perempuan Indonesia berjuang melalui berbagai cara sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah masing-masing

Peran Medis dan Kesehatan

 Dalam situasi perang yang rentan menimbulkan korban, bidang medis dan kesehatan menjadi faktor penunjang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di Aceh, para perempuan anggota Palang Merah Indonesia membentuk satuan tugas yang selalu siaga dikirim dan diberangkatkan ke medan laga untuk menolong korban perang. Sementara itu, para perempuan di Sulawesi Utara berulang kali berjuang untuk menerobos blokade dan pertahanan Belanda untuk mencari obat-obatan yang saat itu sukar diperoleh. Peran serupa juga dilakukan oleh anggota perempuan palang merah di Bali. Mereka menjalin kontak rahasia dengan rekan di kota-kota untuk menyalurkan bantuan ke desa dan daerah gerilya. Dengan ketrampilannya, para perempuan Bali ini juga meramu berbagai tanaman obat untuk mengatasi kekurangan obat-obatan. Di Indonesia timur, para perempuan Maluku juga berperan aktif sebagai tenaga sukarela di berbagai rumah sakit sebagai tenaga perawat. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang membantu perjuangan di Jawa. Pada masa Agresi Militer Belanda, para tenaga medis dari Maluku ini tercatat bertugas memeriksa para pengungsi yang berpindah dan datang ke Yogyakarta.

Pendidikan

Meski di masa perang, pendidikan terhadap generasi penerus bangsa tetap harus dilaksanakan. Selepas kemerdekan, pelajar putri di Aceh diberian pelatihan kepanduan untuk melatih kemampuan intelijen dan perkembangan fisik, semangat, dan cinta tanah air. Saat Revolusi pecah, para perempuan di Aceh menjadi guru sukarela untuk mendidik anak-anak bangsa dan memberantas buta huruf di Sekolah Rendah. Hal serupa juga dilakukan para perempuan pejuang di Tondano dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Bangsa pada November 1945. Yayasan ini mendirikan Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan (SMRK). Sekolah ini senantiasa juga menyisipkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan secara sembunyi-sembunyi di setiap pembelajarannya.

 

Dapur Umum dan Logistik Keberlangsungan perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak akan lama apabila tidak ada asupan makanan yang memadai. Karenanya, keberadaan dapur umum yang dikelola oleh para perempuan berperan sangat penting dalam perjuangan. Tak heran, keberadaan markas para pejuang selalu diiringi dengan keberadaan dapur umum. Di Maluku, para istri dan remaja putri Barisan Pejuang Indonesia mendirikan dapur umum untuk menyediakan makanan serta tempat tinggal bagi para pejuang dan pengungsi. Para istri ini juga menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarga di saat suami mereka berperang di garis depan. Sementara itu di Aceh, selain membuat dapur umum untuk gerilyawan, para perempuan Aceh secara spontan dan sukarela menggalang dana dengan cara memberikan perhiasan dan barang berharga lainnya. Dana itu salah satunya digunakan untuk pembelian pesawat Dakora RI-001 Seulawah, pesawat pertama milik RI.

Peran Seniman dan Sastrawan

Dibanding para politisi dan militer, peran para seniman dan sastrawan memang kurang menonjol dalam catatan sejarah. Namun, peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan cukup penting dan masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Sebagai bentuk ekspresi diri, karya para seniman di masa kemerdekaan membangkitkan semangat juang dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Karya ini ada yang dituangkan dalam medium tembok dan selebaran, ada juga yang mengisi ilustrasi atau karikatur di surat kabar. Mereka menggunakan alat dan media yang sangat sederhana untuk berkarya. Namun, keterbatasan tersebut tidak menghalangi para seniman untuk menyebarkan semangat perjuangan.

Peristiwa perang kemerdekaan dan masa revolusi rupanya ikut membentuk dan mengasah karakter seniman lukis Indonesia. Seniman yang mengalami masa revolusi memiliki rekaman situasi kehidupan pada masa perjuangan fisik yang dituang melalui karya. Beberapa maestro lukis Indonesia seperti S. Sudjojono, Affandi, Dullah, dan Hendra Gunawan adalah contohnya. Di bidang seni peran, para seniman juga turut ambil bagian. Prihatini (2015) menengarai perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta menjadi titik penting perkembangan seni peran di masa revolusi. Para seniman berulang kali mengungsi bersama rakyat dan pejuang lainnya. Pengalaman ini mereka tuangkan melalui sandiwara dan seni teater sebagai bahan refleksi sekaligus hiburan bagi rakyat. Beberapa contoh cerita yang dipentaskan di antaranya “Semarang”; “Awan Berarak” disutradarai oleh Murtono; “Mutiara dari Nusa Laut” karya Usmar Ismail, Sri Murtono, dan Djayakusuma; “Kisah Pendudukan Yogya” disutradarai oleh Dr. Huyung. Salah satu seniman peran yang produktif adalah Sri Murtono dengan karyanya “Di belakang Kedok Jelita”, “Revolusi”, “Di Depan Pintu Bharatayuda”, dan “Tidurlah Anakku”. Di bidang seni musik, lagu-lagu propaganda menjadi pembakar semangat rakyat dan para pejuang. Lagu “Maju Tak Gentar” dan “SorakSorak Bergembira” diciptakan oleh Cornel Simanjuntak pada awal masa revolusi. Kedua lagu ini lahir dalam konteks pertempuran pemuda Indonesia melawan Belanda dan sekutu yang tidak seimbang dari segi

peralatan senjata. “Maju Tak Gentar” dan “Bagimu Negeri” berupaya memotivasi perjuangan pemuda Indonesia dalam membela tanah air Lagu-lagu perjuangan juga berfungsi sebagai pengingat peristiwa revolusi, misalnya lagu “Halo-Halo Bandung” karya Ismail Marzuki yang merekam peristiwa Bandung Lautan Api. Pada masa revolusi, para sastrawan ikut berjuang dengan menghasilkan karya yang mampu memperkaya pengalaman, menanamkan kesadaran, dan menumbuhkan kepekaan. Salah satu pengarang produktif di masa Revolusi adalah Pramoedya Ananta Toer. Antara tahun 1947 —1957, ia telah melahirkan enam novel dan beberapa kumpulan cerpen berlatar masa Revolusi. Beberapa di antaranya Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Keluarga Gerilya (1950), Dia yang Menyerah (1951) , dan Bukan Pasar Malam (1951). Selain Pram, ada juga Idrus yang menulis karya berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948). Buku ini merupakan kumpulan kisah-kisah dari zaman pendudukan Jepang hingga revolusi fisik di antaranya berjudul “Surabaya”, “Dari Ave Maria”, “Jalan Lain ke Roma”

Peran Pelajar dan Mahasiswa

Keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia memunculkan komitmen seluruh masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk kelompok pelajar. Pada Juli 1945, para pelajar setingkat SMP dan SMA di Surabaya pada Juli 1945 berikrar untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 25 September 1945, di Yogyakarta diselenggarakan rapat umum yang dihadiri para pemudadan peajar dari Jawa dan Madura. Pada September 1945, para pelajar Magelang membentuk Gabungan Sekolah Menengah yang kemudian melebur dengan Ikatan Pelajar Indonesia Kedu. Pembentukan perkumpulan-perkumpulan pelajar di beberapa wilayah di Indonesia tersebut menunjukkan tumbuhnya rasa patriotisme pelajar Indonesia. Semangat inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).

Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, para pengurus IPI juga ikut mengungsi. Di ibu kota yag baru ini, para anggota IPI menginginkan. adanya pasukan tempur sendiri dari kelompok pelajar. Oleh karena itu, IPI membentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP) yang merupakan cabang di bagian pertahanan. MPP memiliki tiga resimen yang tersebar di Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pada 17 Juli 1946, di Lapangan Pingit Yogyakarta, Mayor Jenderal dr. Moestopo resmi melantik dan mengukuhkan pasukan pelajar ini sebagai Tentara Pelajar. Di samping latihan rutin baris-berbaris dan bela negara, Tentara Pelajar ini juga aktif menjalankan perannya sebagai pelajar. Ketika keadaan genting dan tugas negara memanggil, dengan segera para pasukan intelektual ini berubah peran menjadi tentara pelajar. Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Tentara Pelajar Indonesia masuk ke dalam jajaran Brigade 17 TNI di bawah kendali Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Keberadaan Tentara Pelajar memang secara resmi dibubarkan pada awal 1951. Namun, peran aktif pelajar sebagai generasi penerus dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan senantiasa tak lekang oleh zaman.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia