Melawan Sekutu Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil memperoleh senjata dari tentara Jepang yang dilucuti setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Para pemuda Surabaya sudah terorganisasi sehingga mereka sudah siap menghadapi segala ancaman yang datang dari manapun.
Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang
berkekuatan sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka
segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di delapan tempat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia awalnya menyambut kedatangan tentara Sekutu
tersebut dengan tangan terbuka. Ketika tentara Sekutu ingin segera melucuti
semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat, Sekutu memperoleh tentangan
keras dari pemimpin Indonesia di Surabaya sehingga akhirnya Sekutu mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan
Indonesia dengan Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain sebagai berikut. a.
Senjata-senjatanya yang dilucuti hanya senjata tentara Jepang. b. Tentara
Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan
dan perdamaian.Setelah semua senjata tentara Jepang dilucuti, mereka akan
diangkut melalui laut.Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru
mengingkarinya. Pada malam hari, 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang Penjara
Kalisosok. Tentara Sekutu membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda
beserta beberapa tentara Belanda yang ditawan pasukan Indonesia.
Pada 27 Oktober 1945, pukul 11.00, sebuah pesawat Dakota
melintas dari Jakarta. Atas perintah Mayjend. Hawthorn, pesawat itu menyebarkan
pamflet yang berisi perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia
kepada tentara Sekutu. Dalam waktu 2 kali 24 jam, seluruh senjata harus sudah
diserahkan dan bagi yang masih membawa senjata melewati batas waktu itu akan
ditembak di tempat. Hal ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari
sebelumnya yang telah disetujui Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet
tersebut, tetapi ia tetap mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta dan segera
memerintahkan pasukannya untuk melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat
Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar perjanjian. Akhirnya, pimpinan
militer di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan
Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin (NU) Nahdlatul
Ulama dan Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia
adalah Perang Sabil sehingga menjadi suatu kewajiban yang melekat pada semua
muslim.Para kiai dan santri kemudian mulai bergerak dari pesantren pesantren di
Jawa Timur menuju ke Surabaya.
Serangan total dilakukan pada 28 Oktober 1945 pukul 04.30.
Delapan pos pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api dan
ditambah sekitar 100.000 rakyat bersenjata tajam. Setelah digempur secara
total, tentara Sekutu yang tidak siap bertempur mengibarkan bendera putih dan
memohon untuk berunding. Dari pertempuran yang berlangsung pada 28-29 Oktober
1945, Inggris mencatat 18perwira dan 374 tentara Sekutu tewas, luka-luka, dan
hilang. Sementara di pihak
Indonesia, sekitar 6.000 orang gugur, luka-luka, dan hilang.
Kapten R.C Smith menulis, Mallaby saat itu menyadari apabila petempuran
dilanjutkan mereka akan disapu bersih. Dalam posisi yang terdesak, Inggris
menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain
selain meminta bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta untuk menyelamatkan nyawa
ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung.
Sore hari, 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Moh. Hatta,dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan
menumpang pesawat militer Inggris. Hlari itu juga, Presiden bertemu dengan
Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang tertuang dalam
Armistice Agreement regarding the Surabaya-incident: a provisional agreement
between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadie
Mallaby,Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjend. Hawthorn,
yang datang ke Surabaya pada 30 Oktober 1945. Berikut beberapa hasil
kesepakatan yang diperoleh pada tanggal 30 Oktober 1945 antara pemimpin
Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia. a. Pamflet yang
ditandatangani Mayjend. Hawthorn dinyatakan tidak berlaku. b. Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh Sekutu. c. Seluruh Kota Surabaya tidak
dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan dijaga tentara Sekutu
bersama TKR. d. Untuk sementara waktu, Tanjung Perak dijaga bersama TKR,
polisi, dan tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat- obatan
untuk tawanan perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari
kekalahan total dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut. a.
Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya
bersama-sama tentara Inggris.b. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang
ditentukan kedudukan masing-masing oleh Kontak Biro. c. Daerah Darmo, daerah kamp
interniran orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu. Hubungan antara daerah Darmo
dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan untuk mempercepat proses pemindahan
tawanan. d.Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada
masing-masing pihak.
Pukul 17.00, tanggal 30 Oktober 1945, seluruh anggota Kontak
Biro pergi bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini
adalah Gedung Bank Internasional di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki
pasukan Inggris dan pemuda-pemuda masih mengepungnya. Setibanya di lokasi
pertempuran, pemuda pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah.Mallaby
tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi insiden
baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49,di Surabaya.
Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan senjata dan
membunuh Mallaby.
Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat
kejadian, ternyata yang memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian
Mayor Gopal tahun 1974. Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi
misteri. Ada yang mengatakan tertusuk bayonet dan bambu runcing pemuda. Namun,
berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan
besar Mallaby terbunuh karena ledakan granat yang dilempar pengawalnyasendiri.
Setelah tewasnya Mallaby,baik Letnan Jenderal Christison,
panglima AFNEI,atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia
telah melanggar gencatan senjata dan secara licik membunuh Brigjend. Mallaby.
Dengan tuduhan tersebut, Inggris memperoleh alasan untuk memenuhi perjanjiannya
dengan Belanda,yaitu membersihkan kekuatan bersenjta Indonesia. Pihak Inggris
menuntut pertanggungjawaban pihak Indonesia. Pada 31 Oktober 1945, Letnan
Jenderal Christison memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerah.
Apabila tidak, mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau memenuhi
tuntutan tersebut. Kontak Biro Indonesia pun mengumumkan bahwa kematian Mallaby
merupakan suatu kecelakaan.
Letjen Sir Philip Christison yang marah besar mendengar
kabar kematian Brigjend. Mallaby mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk
menguasai Surabaya. Secara diam-diam, Sekutu memperkuat posisinya. Tanggal 1
November 1945, pukul 08.00, Laksamana Muda Patterson dengan Kapal Perang HMS
Sussex tiba di Surabaya. Sejumlah 1.500 pasukan didaratkan dengan Kapal Carron
dan Cavallier.
Tanggal 3 November 1945, menyusul pula Mayor Jendral E.C.
Manseergh,Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, yang tiba di Surabaya dengan
membawa 24.000pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi artileri dilindungi
dari Tanjung Perak dan Ujung oleh satu cruiser dan empat destroyer dengan
meriam jarak jauh yang lengkap,ditambah 21 sherman tank dan meriam yang
dilindungi 24 pesawat terbang jenis Mosquito (pemburu) dan Thunderbolts
(pelempar bom). Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak yang
mengadakan straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kekuatan laut yang
dikerahkan oleh Inggris terdiri dari jenis kapal LST destroyer. Kapal itu
dibawah komando Naval Commander Force 64 yang dipimpin oleh Captain R.C.S.
Carwood. Beberapa buah kapal ini sudah beroperasi sejak kedatangan Inggris pada
25 Oktober 1945. Masih banyak lagi kekuatan Inggris dari laut, udara, dan darat
untuk menyerbu Surabaya pada 10November 1945.
Kemudian, pada 7 November 1945, Mayor Jendral E.C. Mansergh
menulis surat kepada Gubernur Suryo yang isinya menuduh gubernur tidak mampu
menguasai keadaan. Akibatnya, seluruh kota dikuasai oleh perampok. Mereka
dianggap menghalangi tugas Sekutu. Untuk itu, Sekutu mengancam akan menduduki
Kota Surabaya serta memanggil Gubernur Suryo untuk menghadap.Dalam surat
jawabannya, tertanggal 9 November 1945, Gubernur Suryo membantah semua tuduhan
Mayor Jendral E.C. Mansergh. Gubernur Suryo mengutus Residen Sudirman dan
Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan surat balasan tersebut.Pada hari yang
sama, pukul 14.00, Mayor Jendral E.C. Mansergh menyerahkan 2surat kepada
Gubernur Suryo. Surat yang pertama berupa ultimatum yang ditujukan kepada “All
Indonesians of Surabaya" lengkap dengan "Instructions”. Surat yang
kedua merupakan perincian dari ultimatum tersebut. Bunyi ultimatum yang
disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November 1945 pukul
14.00 yakni,“Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan
pemuda,kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg
tanggal 9November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu per satu membawa
segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di
tempat yang berjarak
100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang
Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan,
dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Bagi
pemuda- pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan
membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi
tanggal 10November 1945. Apabila tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan
seluruh kekuatan darat, laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.”
Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan
pertemuan. Mereka melaporkan kepada presiden, tetapi hanya diterima oleh
Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan
kepada rakyat Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui
radio,menyatakan menolak ultimatum Inggris.
Tanggal 10 November 1945, pukul 06.00, setelah habisnya
waktu ultimatum,Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat,
laut, dan udara.Pemboman secara brutal pada hari pertama telah menimbulkan
korban yang sangat besar. Di pasar Turi, ratusan orang tewas dan luka-luka.
Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan atas serangan
tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah
mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar
adalah warga sipil. Selai itu, diperkirakan 150.000orang terpaksa meninggalkan
Kota Surabaya yang hampir hancur total terkena serangan Sekutu. Sementara di
pihak Inggris tercatat 1.500 tentara Inggris tewas,hilang,dan luka-luka.
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu.
Seluruh kota telah jatuh ke tangan Sekutu. Pihak Inggris menduga bahwa
perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari. Namun, para
tokoh masyarakat, seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di
masyarakat, terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya
sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kiai-kiai pondok Jawa
seperti K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah, serta kiai-kiai pesantren
lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai
milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada
pemerintahan, tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiai) sehingga
perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari
minggu ke minggu.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan
dan tidak terkoordinasà makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu sebelum seluruh Kota Surabaya akhirnya jatuh
di tangan pihak Inggris tanggal 28 November 1945. Pertempuran Surabaya berakhir
dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi, perang tersebut membuktikan
bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka
meskipun harus dibayar dengan nyawa. Sebagai penghormatan atas jasa para
pahlawan yang berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, Sukarno
menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar