Materi Sejarah
Rabu, 15 Januari 2025
Selasa, 06 Agustus 2024
Perundingan Linggarjati
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir Perang
Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun, Belanda yang sebelumnya menguasai Indonesia sebagai koloni Belanda
berusaha untuk mengembalikan kendali mereka atas wilayah ini. Masuknya AFNEI
yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di
Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda,
seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi
penanggung jawab untuk menyelesaikan masalah politik dan militer di Asia. Pada
awalnya, Indonesia dan Belanda diajak untuk berunding di Hoge Veluwe yang akan
dilaksanakan pada tanggal 14-15 April 1946, tetapi perundingan tersebut gagal
karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatra dan
Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja
Berbagai pertemuan dilakukan oleh pihak indonesia dan
belanda.Perundingan linggarjati adalah salah satunya, peruindingan Linggarjati
adalah perjanjian penting yang ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada
25 Maret 1947 di desa Linggarjati, Jawa Barat. Perjanjian ini adalah langkah
awal dalam proses panjang menuju pengakuan kemerdekaan Indonesia dan penyelesaian
Konflik Indonesia-Belanda. Dalam artikel ini, kita akan menjelaskan latar
belakang, isi, dan dampak dari Perjanjian Linggarjati.
Untuk mengakhiri konflik tersebut, PBB menciptakan Komisi
Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia, Amerika Serikat, dan Inggris,
untuk mencari solusi damai. KTN mengusulkan perundingan antara Indonesia dan
Belanda, yang akhirnya mengarah pada Perjanjian Linggarjati.
Perjanjian Linggarjati menghasil sejumlah poin penting
diantaranya, Belanda mengakui wilayah Indonesia yang mencakup Jawa, Sumatra,
dan Madura. Belanda harus meninggalkan Indonesia sebelum tanggal 1 Januari
1949. Indonesia dan Belanda setuju membentuk negara serikat dengan nama RIS.
Negara Indonesia Serikat terdiri dari RI, Kalimantan, dan Timur Besar.
Pembentukan RIS ini dilangsungkan sebelum 1 Januari 1949. RIS dan Belanda akan
membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda.
Perjanjian Linggarjati menyepakati bahwa masa transisi akan
berlangsung hingga 1 Januari 1949. Selama masa ini, semua persoalan diharapkan
dapat diselesaikan. Adapun tokoh-tokoh yang hadir dalam Perjanjian Linggarjati
adalah Inggris yang bertindak sebagai penengah dan diwakili Lord Killeran. Dari
Indonesia: diwakili Sutan Syahrir sebagai ketua serta Mohammad Roem, Mr. Susanto
Tirtoprojo, dan Dr. A. K. Gani sebagai anggota. Kemuadian dari Belanda diwakili
Prof. Schermerhorn sebagai ketua serta De Boer dan Van Pool sebagai anggota.
Perjanjian ini memberikan dampak buruk bagi Indonesia.
Indonesia harus kehilangan wilayah kekuasaannya, berdasarkan perjanjian ini
wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura. Bagi beberapa pihak
kehilangan wilayah ini adalah sebuah kesalahan besar. Langkah ini terpaksa
diambil dengan pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan militer Belanda
yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya, apabila perundingan ini tidak
membuahkan hasil akan mengakibatkan perang kembali yang akan berdampak buruk
bagi Indonesia. Selain itu Indonesia harus ikut dalam Persemakmuran
Indonesia-Belanda.
Namun dalam perjanjian ini Indonesia memiliki dampak positif
di mata dunia internasional makin meningkat dengan pengakuan Belanda atas
kemerdekaan Indonesia mendorong negara-negara lain untuk secara sah mengakui kemerdekaan
Republik Indonesia. Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus.
Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak
terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah
Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran
antara Indonesia dan Belanda.
Perjanjian Linggarjati awalnya menciptakan harapan damai,
tetapi masih menyisakan ketegangan dan perbedaan pendapat antara Indonesia dan
Belanda. Konflik dan pertempuran terus berlanjut selama masa transisi hingga
Perjanjian Renville pada 1948 dan akhirnya berakhir pada Konferensi Meja Bundar
pada 1949.
Kamis, 18 Juli 2024
Perkembangan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat pada masa Sukarno
Asian Games ke-4 dan Penyelenggaraan GANEFO
Tahukah kalian bahwa olah raga merupakan salah satu alat
diplomasi negara? Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin pernah menjadi penyelenggara
Asian Games dan menggagas penyelenggaraan GANEFO. Pada tahun 1962, Indonesia
didapuk menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games ke-4. Perhelatan ini
dihadiri 1.460 atlit dari 17 negara. Infrastruktur dan sarana kegiatan
dipersiapkan mulai tahun 1958. Pada 8 Februari 1960, Sukarno meresmikan
pembangunan stadion utama
Senayan. Pembangunan stadion tersebut merupakan bentuk
Kerjasama Indonesia dengan Uni Soviet (De Waarheid Volksdagblad voor Nederland,
1962). Saat Asian Games berlangsung, sempat terjadi permasalahan karena
Indonesia tidak mengundang Taiwan dan Israel untuk menjadi peserta. Hal
tersebut menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan International
Olympic Committee (IOC) hingga Indonesia memilih mundur dari keanggotaan IOC.
Selepas itu, Sukarno kemudian mengadakan ajang kompetisi sepak bola
internasional bertajuk Soekarno Cup pada 1963 di minggu yang sama dengan
konferensi Olimpiade. Penyelenggaran Soekarno Cup yang berjalan sukses membuat
hubungan para pejabat Asia-Afrika semakin baik, Maladi dan Sukarno pun optimis
menyelenggarakan GANEFO. Pada 10—22 November 1963, akhirnya GANEFO diadakan di
Jakarta yang diikuti oleh 2700 atlet dari 51 negara yag menyimbolkan rasa
solidaritas antarnegara New Emerging Forces. Ganefo membuktikan kepada IOC
bahwa Indonesia berhasil menyelenggarakan pesta olahraga laiknya Olimpiade dan
dapat merevolusi diplomasi olahraga.
Pembangunan Proyek Mercusuar Pada 20 Januari 1958, Indonesia
menyepakati hasil pampasan perang senilai 80.308,8 juta yen atau setara 223,08
juta USD yang akan dibayarkan selama 12 tahun dalam bentuk modal, barang, dan
jasa. Ini merupakan salah satu bentuk kompensasi yang dibayarkan oleh
pemerintah Jepang atas 3,5 tahun penjajahan mereka di Indonesia. Salah satu
proyek pengembangan komprehensif hasil pampasan perang ini dikenal dengan
Proyek 3K yang mengandung unsur 3 nama sungai yaitu Karangkates, Konto, dan,
Kanan. Ketiga proyek bendungan tersebut menghabiskan 28,35 juta USD. Namun,
proyek ini tidak dapat diselesaikan sehingga pemerintah Jepang memberikan
tambahan pinjaman dalam bentuk mata uang yen. Indonesia juga menggunakan dana
pampasan perang tersebut untuk membangun hotel-hotel, di antaranya Hotel
Indonesia, Hotel Bali Beach, dan Hotel Samudera Beach. Hotel Indonesia menjadi salah
satu sumber devisa negara hingga 1969 karena semua tamu hotel diharuskan
membayar menggunakan mata uang dolar Amerika. Proyek lain yang dikerjakan
adalah Toserba Sarinah yang menjual kualitas barang-barang mewah dengan harga
tinggi pada masa itu.
Begitu besarnya dana pampasan perang ini membuat pemerintah
membentuk Komite Pampasan Pemerintah Indonesia antara tahun 1958—1965. Komite
ini bertugas bertugas menangani dan mengelola pampasan perang dari Jepang. Akan
tetapi, para anggota komite tersebut banyak yang terlibat skandal dengan pihak
Jepang sehingga tidak ada transparansi terkait pembayaran dan pengeluaran.
Kebijakan Kesehatan Kesehatan menjadi aspek penting dalam
satu dekade kedaulatan RI. Agar dapat mewujudkan pengobatan dan kesehatan yang
bisa dijangkau masyarakat luas, dr. Johannes Leimena dan Abdoel Patah
merumuskan program yang dikenal dengan Bandung Plan. Konsep Bandung Plan
menyatakan bahwa pelayanan kesehatan pada aspek preventif dan kuratif tidak
boleh dipisahkan, baik yang berada di rumah sakit maupun di pos-pos kesehatan.
Konsep yang dipresentasikan Leimena-Patah ini kemudian diterapkan pada
pendidikan kedokteran pada tahun 1952 dan mulai diintegrasikan di pusatpusat
kesehatan masyarakat. Nantinya, salah satu wujud integrasi ini adalah keberadaan
pos pelayanan terpadu (posyandu).
Kebijakan Pendidikan
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Mr.
Wongsonegoro dan Menteri Agama H. Wahid Hasyim memberikan perubahan dalam
sistem pendidikan dengan menetapkan UU No. 4 Tahun 1950. Perubahan tersebut
meliputi: • Pelajaran pendidikan agama diberikan
pada Sekolah Rendah (umum) dan Lanjutan (Kejuruan) yang
dimulai pada siswa kelas 4 maksimal 2 jam per minggu. • Pada siswa kelas 1, 2,
dan 3 Sekolah Rakyat, pemakaian bahasa daerah digunakan sebagai pendamping
bahasa Indonesia. • Penggunaan bahasa Indonesia diterapkan sejak kelas 1
Sekolah Rakyat sampai ke perguruan tinggi. • Bahasa Belanda dihapuskan dari
sistem pendidikan di Indonesia. • Beberapa sekolah yang masih mengikuti sistem
lama warisan Belanda diharuskan untuk mengikuti sistem baru sejak 1951. Pada
tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan yang dikenal dengan
nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini merupakan penyempurna
Kurikulum 1947. Sistem Kurikulum 1952 sudah mengarah pada sistem pendidikan
nasional yaitu mengintegrasikan materi pelajaran sesuai dengan kehidupan
sehari-hari. Kebijakan demokrasi pendidikan dan program wajib belajar 6 tahun
diterapkan kepada seluruh warga negara yang sudah berumur 8 tahun. Pemerintah
Indonesia saat itu sedang berusaha untuk mengurangi tingginya buta huruf di
masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan masyarakat
melalui jalur pendidikan di luar sekolah formal juga digalakkan melalui program
kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH), Kursus Pendidikan Umum A (KPU/A setara
SD), dan Kursus Pendidikan Umum B (KPU/B setara SMP). Perkembangan politik masa
1959—1967 mengalami masa sulit. Kehidupan perekonomian memburuk, terjadi
inflasi hingga 600% yang mengakibatkan alokasi anggaran untuk pendidikan
semakin mengecil. Kebijakan wajib belajar pun tidak dapat terlaksana dengan
baik seiring dengan kegagalan bidang ekonomi dan politik
Perubahan dari RIS Menuju NKRI
Penggagas pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H. J. van Mook. Pembentukan RIS ini sebagai upaya Belanda untuk dapat tetap menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Pemerintahan RIS berkedudukan di Jakarta, sementara pemerintahan RI berkedudukan di Yogyakarta. Pemerintahan RIS dipimpin oleh Presiden Sukarno dan dibantu oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Sistem pemerintahan RIS adalah demokrasi parlementer dengan konstitusi negara bernama Undang-undang Republik Indonesia Serikat. Pemerintahan RI berada di dalam wilayah pemerintahan RIS, tetapi wilayah RI tetap otonom dan tidak tergantung kepada RIS.
Namun, mayoritas masyarakat Indonesia beserta tokoh-tokoh
nasional menginginkan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Selain itu
muncul gerakan-gerakan persatuan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan menentang pembentukan negara federal, termasuk juga dari
masyarakat di mayoritas negara bagian RIS.
Negara bagian Sumatera Selatan adalah yang pertama mengawali
untuk bergabung dengan Pemerintah RI pada 10 Februari 1950. Selanjutnya, Negara
Pasundan berkeinginan untuk ikut bergabung karena merasa kurang mampu
memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Negara Pasundan akhirnya
bergabung dalam RI sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan RIS No 113
tanggal 11 Maret 1950.
Pemerintah RIS tidak menentang aksi penggabungan dengan RI
dan justru mengikuti kemauan Majelis Permusyawaratan. Pemerintah RIS kemudian
mengeluarkan undang-undang darurat pada 7 Maret 1950 yang isinya pembubaran
negara-negara bagian dan penggabungan ke dalam RI. Akhirnya sampai akhir Maret
1950, tinggal empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat,
Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan R I. Kondisi tersebut membuat
Natsir berinisiatif menyampaikan agar RI dan Negara-negara bagian RIS berbaur
dalam NKRI. Usul yang disampaikan dalam sebuat rapat parlemen pada 3 April
1950ini kemudian dikenal dengan istilah Mosi Integral Natsir. Kepiawaiannya
dalam lobi politik membuahkan hasil. Kalimantan Barat masuk ke dalam negara
bagian RI melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada 22 April 1950
Jelang pertengahan 1950, RIS hanya menyisakan tiga negara
yaitu Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI. Pada tanggal 3—5
Mei 1950 diadakan perundingan yang menyepakati pembentukan NKRI. Akan tetapi,
pembentukan NKRI tidaklah semudah menggabungkan negara bagian RIS ke RI. Hal
ini berhubungan dengan pengakuan kedaulatan dari dunia internasional karena
yang diakui kedaulatannya dalam KMB adalah RIS. Solusi pemecahan persoalan ini
adalah dengan mengubah konstitusi RIS yang berbentuk negara federal menjadi
NKRI. Akhirnya, Presiden Sukarno mengganti RIS dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1950.
Moh. Natsir, Sang Pelopor Wacana Kembalinya NKRI
Natsir merupakan satu tokoh penting Indonesia pada tahun
1950-an. Dengan menyampaikan Mosi Integral dalam sebuah sidang parlemen pada 3
April 1950, Moh. Natsir berhasil melobi banyak fraksi agar bersepakat untuk
kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah
sebelumnya terpecah-pecah dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sebagai tokoh yang pernah menjabat sebagai perdana menteri, Natsir dikenal
sebagai tokoh yang karismatik dan sederhana. Agar dapat lebih jauh menggali
tentang sejarah dan kepribadian Mohammad Natsir, kalian dapat melihat
dokumentasi sejarahnya.
Peran Rakyat dalam Revolusi Nasional
Persoalan upaya mempertahankan kemerdekaan bukan hanya berada pada pundak para elite negara dan militer, melainkan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, rakyat Indonesia rela bertaruh nyawa dan bahu-membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut berbagai peran masyarakat Indonesia pada masa Revolusi Nasional.
Peran Perempuan
Pemerintah RI menyerukan para perempuan yang sebelumnya
tergabung dalam Fujinkai (organisasi wanita bentukan Jepang) agar masuk dalam
berbagai wadah organisasi perempuan Indonesia. Dengan demikian, para perempuan
Indonesia segera dapat menyalurkan tenaganya untuk kepentingan perjuangan,
terutama dalam bidang-bidang sosial. Menarik untuk dicermati, meski sebagian
besar tidak turut langsung memanggul senjata dalam perlawanan, kaum perempuan
seringkali berada di garis depan sebagai informan dan penyalur kebutuhan para
pejuang. Di beberapa daerah, para istri dan remaja putri mengorganisasi diri
untuk memenuhi kebutuhan logistik, obat-obatan, bahkan pembiayaan perang.
Selama masa Revolusi, perempuan Indonesia berjuang melalui berbagai cara sesuai
dengan kemampuan dan kondisi daerah masing-masing
Peran Medis dan
Kesehatan
Dalam situasi perang
yang rentan menimbulkan korban, bidang medis dan kesehatan menjadi faktor
penunjang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di Aceh, para
perempuan anggota Palang Merah Indonesia membentuk satuan tugas yang selalu
siaga dikirim dan diberangkatkan ke medan laga untuk menolong korban perang.
Sementara itu, para perempuan di Sulawesi Utara berulang kali berjuang untuk
menerobos blokade dan pertahanan Belanda untuk mencari obat-obatan yang saat
itu sukar diperoleh. Peran serupa juga dilakukan oleh anggota perempuan palang
merah di Bali. Mereka menjalin kontak rahasia dengan rekan di kota-kota untuk
menyalurkan bantuan ke desa dan daerah gerilya. Dengan ketrampilannya, para
perempuan Bali ini juga meramu berbagai tanaman obat untuk mengatasi kekurangan
obat-obatan. Di Indonesia timur, para perempuan Maluku juga berperan aktif
sebagai tenaga sukarela di berbagai rumah sakit sebagai tenaga perawat. Bahkan,
tak sedikit dari mereka yang membantu perjuangan di Jawa. Pada masa Agresi
Militer Belanda, para tenaga medis dari Maluku ini tercatat bertugas memeriksa
para pengungsi yang berpindah dan datang ke Yogyakarta.
Pendidikan
Meski di masa perang, pendidikan terhadap generasi penerus
bangsa tetap harus dilaksanakan. Selepas kemerdekan, pelajar putri di Aceh
diberian pelatihan kepanduan untuk melatih kemampuan intelijen dan perkembangan
fisik, semangat, dan cinta tanah air. Saat Revolusi pecah, para perempuan di
Aceh menjadi guru sukarela untuk mendidik anak-anak bangsa dan memberantas buta
huruf di Sekolah Rendah. Hal serupa juga dilakukan para perempuan pejuang di
Tondano dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Bangsa pada November 1945. Yayasan
ini mendirikan Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan (SMRK). Sekolah ini
senantiasa juga menyisipkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan secara
sembunyi-sembunyi di setiap pembelajarannya.
Dapur Umum dan Logistik Keberlangsungan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan tidak akan lama apabila tidak ada asupan makanan
yang memadai. Karenanya, keberadaan dapur umum yang dikelola oleh para perempuan
berperan sangat penting dalam perjuangan. Tak heran, keberadaan markas para
pejuang selalu diiringi dengan keberadaan dapur umum. Di Maluku, para istri dan
remaja putri Barisan Pejuang Indonesia mendirikan dapur umum untuk menyediakan
makanan serta tempat tinggal bagi para pejuang dan pengungsi. Para istri ini
juga menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarga di saat suami mereka
berperang di garis depan. Sementara itu di Aceh, selain membuat dapur umum
untuk gerilyawan, para perempuan Aceh secara spontan dan sukarela menggalang
dana dengan cara memberikan perhiasan dan barang berharga lainnya. Dana itu
salah satunya digunakan untuk pembelian pesawat Dakora RI-001 Seulawah, pesawat
pertama milik RI.
Peran Seniman dan
Sastrawan
Dibanding para politisi dan militer, peran para seniman dan
sastrawan memang kurang menonjol dalam catatan sejarah. Namun, peran mereka
dalam perjuangan kemerdekaan cukup penting dan masih bisa kita nikmati hingga
saat ini. Sebagai bentuk ekspresi diri, karya para seniman di masa kemerdekaan
membangkitkan semangat juang dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah.
Karya ini ada yang dituangkan dalam medium tembok dan selebaran, ada juga yang
mengisi ilustrasi atau karikatur di surat kabar. Mereka menggunakan alat dan media
yang sangat sederhana untuk berkarya. Namun, keterbatasan tersebut tidak
menghalangi para seniman untuk menyebarkan semangat perjuangan.
Peristiwa perang kemerdekaan dan masa revolusi rupanya ikut
membentuk dan mengasah karakter seniman lukis Indonesia. Seniman yang mengalami
masa revolusi memiliki rekaman situasi kehidupan pada masa perjuangan fisik
yang dituang melalui karya. Beberapa maestro lukis Indonesia seperti S.
Sudjojono, Affandi, Dullah, dan Hendra Gunawan adalah contohnya. Di bidang seni
peran, para seniman juga turut ambil bagian. Prihatini (2015) menengarai
perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta menjadi titik penting perkembangan
seni peran di masa revolusi. Para seniman berulang kali mengungsi bersama
rakyat dan pejuang lainnya. Pengalaman ini mereka tuangkan melalui sandiwara
dan seni teater sebagai bahan refleksi sekaligus hiburan bagi rakyat. Beberapa
contoh cerita yang dipentaskan di antaranya “Semarang”; “Awan Berarak”
disutradarai oleh Murtono; “Mutiara dari Nusa Laut” karya Usmar Ismail, Sri
Murtono, dan Djayakusuma; “Kisah Pendudukan Yogya” disutradarai oleh Dr.
Huyung. Salah satu seniman peran yang produktif adalah Sri Murtono dengan
karyanya “Di belakang Kedok Jelita”, “Revolusi”, “Di Depan Pintu Bharatayuda”,
dan “Tidurlah Anakku”. Di bidang seni musik, lagu-lagu propaganda menjadi
pembakar semangat rakyat dan para pejuang. Lagu “Maju Tak Gentar” dan
“SorakSorak Bergembira” diciptakan oleh Cornel Simanjuntak pada awal masa
revolusi. Kedua lagu ini lahir dalam konteks pertempuran pemuda Indonesia
melawan Belanda dan sekutu yang tidak seimbang dari segi
peralatan senjata. “Maju Tak Gentar” dan “Bagimu Negeri”
berupaya memotivasi perjuangan pemuda Indonesia dalam membela tanah air
Lagu-lagu perjuangan juga berfungsi sebagai pengingat peristiwa revolusi,
misalnya lagu “Halo-Halo Bandung” karya Ismail Marzuki yang merekam peristiwa
Bandung Lautan Api. Pada masa revolusi, para sastrawan ikut berjuang dengan
menghasilkan karya yang mampu memperkaya pengalaman, menanamkan kesadaran, dan
menumbuhkan kepekaan. Salah satu pengarang produktif di masa Revolusi adalah
Pramoedya Ananta Toer. Antara tahun 1947 —1957, ia telah melahirkan enam novel
dan beberapa kumpulan cerpen berlatar masa Revolusi. Beberapa di antaranya
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Keluarga Gerilya (1950), Dia yang Menyerah (1951)
, dan Bukan Pasar Malam (1951). Selain Pram, ada juga Idrus yang menulis karya
berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948). Buku ini merupakan
kumpulan kisah-kisah dari zaman pendudukan Jepang hingga revolusi fisik di
antaranya berjudul “Surabaya”, “Dari Ave Maria”, “Jalan Lain ke Roma”
Peran Pelajar dan
Mahasiswa
Keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia
memunculkan komitmen seluruh masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk
kelompok pelajar. Pada Juli 1945, para pelajar setingkat SMP dan SMA di
Surabaya pada Juli 1945 berikrar untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Pada 25 September 1945, di Yogyakarta diselenggarakan rapat umum
yang dihadiri para pemudadan peajar dari Jawa dan Madura. Pada September 1945,
para pelajar Magelang membentuk Gabungan Sekolah Menengah yang kemudian melebur
dengan Ikatan Pelajar Indonesia Kedu. Pembentukan perkumpulan-perkumpulan
pelajar di beberapa wilayah di Indonesia tersebut menunjukkan tumbuhnya rasa
patriotisme pelajar Indonesia. Semangat inilah yang kemudian menjadi latar
belakang lahirnya organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).
Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, para
pengurus IPI juga ikut mengungsi. Di ibu kota yag baru ini, para anggota IPI
menginginkan. adanya pasukan tempur sendiri dari kelompok pelajar. Oleh karena
itu, IPI membentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP) yang merupakan cabang di
bagian pertahanan. MPP memiliki tiga resimen yang tersebar di Jawa timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat. Pada 17 Juli 1946, di Lapangan Pingit Yogyakarta, Mayor
Jenderal dr. Moestopo resmi melantik dan mengukuhkan pasukan pelajar ini
sebagai Tentara Pelajar. Di samping latihan rutin baris-berbaris dan bela
negara, Tentara Pelajar ini juga aktif menjalankan perannya sebagai pelajar.
Ketika keadaan genting dan tugas negara memanggil, dengan segera para pasukan
intelektual ini berubah peran menjadi tentara pelajar. Saat terjadi Agresi
Militer Belanda II, Tentara Pelajar Indonesia masuk ke dalam jajaran Brigade 17
TNI di bawah kendali Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Keberadaan Tentara
Pelajar memang secara resmi dibubarkan pada awal 1951. Namun, peran aktif
pelajar sebagai generasi penerus dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan
senantiasa tak lekang oleh zaman.
Pembentukan Republik Indonesia Serikat
Isi perjanjian KMB diterima KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Kemudian, pada 14Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara bagian dan daerah untuk membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa
UUD 1945 menjadi konstitusi RIS. Negara RIS yang berbentuk
federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya.
Sebenarnya bagi RI,pembentukan RIS sangat merugikan, tetapi mengingat sebagai
strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia
walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima.
Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan
perdana menteri (pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai
pemerintah. Kemudian,dibntuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar,
yakni Senat dan DPR.Senat merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing
diwakili dua orang,sedangkan DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakil
wakil seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan
meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu:a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut
status quo seperti dalam Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3)
Negara Pasundan (Jawa Barat). 4)Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara
Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak
berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian.
Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia
Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia
-
Secara geografis, luas Minangkabau sekitar 42.000 km persegi. Luasnya kira-kira 11 % dari luas Pulau Sumatera. Ranah Minangkabau termasuk ...
-
Asian Games ke-4 dan Penyelenggaraan GANEFO Tahukah kalian bahwa olah raga merupakan salah satu alat diplomasi negara? Indonesia pada masa...
-
Pada masa Van den Bosch (1830-1870) sebagai gubernur jenderal yang baru diberi tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk tugas i...