Selasa, 06 Agustus 2024

Perundingan Linggarjati


Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda yang sebelumnya menguasai Indonesia sebagai koloni Belanda berusaha untuk mengembalikan kendali mereka atas wilayah ini. Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan masalah politik dan militer di Asia. Pada awalnya, Indonesia dan Belanda diajak untuk berunding di Hoge Veluwe yang akan dilaksanakan pada tanggal 14-15 April 1946, tetapi perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatra dan Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja

Berbagai pertemuan dilakukan oleh pihak indonesia dan belanda.Perundingan linggarjati adalah salah satunya, peruindingan Linggarjati adalah perjanjian penting yang ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada 25 Maret 1947 di desa Linggarjati, Jawa Barat. Perjanjian ini adalah langkah awal dalam proses panjang menuju pengakuan kemerdekaan Indonesia dan penyelesaian Konflik Indonesia-Belanda. Dalam artikel ini, kita akan menjelaskan latar belakang, isi, dan dampak dari Perjanjian Linggarjati.

Untuk mengakhiri konflik tersebut, PBB menciptakan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia, Amerika Serikat, dan Inggris, untuk mencari solusi damai. KTN mengusulkan perundingan antara Indonesia dan Belanda, yang akhirnya mengarah pada Perjanjian Linggarjati.

Perjanjian Linggarjati menghasil sejumlah poin penting diantaranya, Belanda mengakui wilayah Indonesia yang mencakup Jawa, Sumatra, dan Madura. Belanda harus meninggalkan Indonesia sebelum tanggal 1 Januari 1949. Indonesia dan Belanda setuju membentuk negara serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat terdiri dari RI, Kalimantan, dan Timur Besar. Pembentukan RIS ini dilangsungkan sebelum 1 Januari 1949. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda.

Perjanjian Linggarjati menyepakati bahwa masa transisi akan berlangsung hingga 1 Januari 1949. Selama masa ini, semua persoalan diharapkan dapat diselesaikan. Adapun tokoh-tokoh yang hadir dalam Perjanjian Linggarjati adalah Inggris yang bertindak sebagai penengah dan diwakili Lord Killeran. Dari Indonesia: diwakili Sutan Syahrir sebagai ketua serta Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan Dr. A. K. Gani sebagai anggota. Kemuadian dari Belanda diwakili Prof. Schermerhorn sebagai ketua serta De Boer dan Van Pool sebagai anggota.

Perjanjian ini memberikan dampak buruk bagi Indonesia. Indonesia harus kehilangan wilayah kekuasaannya, berdasarkan perjanjian ini wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura. Bagi beberapa pihak kehilangan wilayah ini adalah sebuah kesalahan besar. Langkah ini terpaksa diambil dengan pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan militer Belanda yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya, apabila perundingan ini tidak membuahkan hasil akan mengakibatkan perang kembali yang akan berdampak buruk bagi Indonesia. Selain itu Indonesia harus ikut dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda.

 

Namun dalam perjanjian ini Indonesia memiliki dampak positif di mata dunia internasional makin meningkat dengan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia mendorong negara-negara lain untuk secara sah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

Perjanjian Linggarjati awalnya menciptakan harapan damai, tetapi masih menyisakan ketegangan dan perbedaan pendapat antara Indonesia dan Belanda. Konflik dan pertempuran terus berlanjut selama masa transisi hingga Perjanjian Renville pada 1948 dan akhirnya berakhir pada Konferensi Meja Bundar pada 1949.

 

 


Kamis, 18 Juli 2024

Perkembangan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat pada masa Sukarno

Asian Games ke-4 dan Penyelenggaraan GANEFO

Tahukah kalian bahwa olah raga merupakan salah satu alat diplomasi negara? Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin pernah menjadi penyelenggara Asian Games dan menggagas penyelenggaraan GANEFO. Pada tahun 1962, Indonesia didapuk menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games ke-4. Perhelatan ini dihadiri 1.460 atlit dari 17 negara. Infrastruktur dan sarana kegiatan dipersiapkan mulai tahun 1958. Pada 8 Februari 1960, Sukarno meresmikan pembangunan stadion utama

Senayan. Pembangunan stadion tersebut merupakan bentuk Kerjasama Indonesia dengan Uni Soviet (De Waarheid Volksdagblad voor Nederland, 1962). Saat Asian Games berlangsung, sempat terjadi permasalahan karena Indonesia tidak mengundang Taiwan dan Israel untuk menjadi peserta. Hal tersebut menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan International Olympic Committee (IOC) hingga Indonesia memilih mundur dari keanggotaan IOC. Selepas itu, Sukarno kemudian mengadakan ajang kompetisi sepak bola internasional bertajuk Soekarno Cup pada 1963 di minggu yang sama dengan konferensi Olimpiade. Penyelenggaran Soekarno Cup yang berjalan sukses membuat hubungan para pejabat Asia-Afrika semakin baik, Maladi dan Sukarno pun optimis menyelenggarakan GANEFO. Pada 10—22 November 1963, akhirnya GANEFO diadakan di Jakarta yang diikuti oleh 2700 atlet dari 51 negara yag menyimbolkan rasa solidaritas antarnegara New Emerging Forces. Ganefo membuktikan kepada IOC bahwa Indonesia berhasil menyelenggarakan pesta olahraga laiknya Olimpiade dan dapat merevolusi diplomasi olahraga.

Pembangunan Proyek Mercusuar Pada 20 Januari 1958, Indonesia menyepakati hasil pampasan perang senilai 80.308,8 juta yen atau setara 223,08 juta USD yang akan dibayarkan selama 12 tahun dalam bentuk modal, barang, dan jasa. Ini merupakan salah satu bentuk kompensasi yang dibayarkan oleh pemerintah Jepang atas 3,5 tahun penjajahan mereka di Indonesia. Salah satu proyek pengembangan komprehensif hasil pampasan perang ini dikenal dengan Proyek 3K yang mengandung unsur 3 nama sungai yaitu Karangkates, Konto, dan, Kanan. Ketiga proyek bendungan tersebut menghabiskan 28,35 juta USD. Namun, proyek ini tidak dapat diselesaikan sehingga pemerintah Jepang memberikan tambahan pinjaman dalam bentuk mata uang yen. Indonesia juga menggunakan dana pampasan perang tersebut untuk membangun hotel-hotel, di antaranya Hotel Indonesia, Hotel Bali Beach, dan Hotel Samudera Beach. Hotel Indonesia menjadi salah satu sumber devisa negara hingga 1969 karena semua tamu hotel diharuskan membayar menggunakan mata uang dolar Amerika. Proyek lain yang dikerjakan adalah Toserba Sarinah yang menjual kualitas barang-barang mewah dengan harga tinggi pada masa itu.

Begitu besarnya dana pampasan perang ini membuat pemerintah membentuk Komite Pampasan Pemerintah Indonesia antara tahun 1958—1965. Komite ini bertugas bertugas menangani dan mengelola pampasan perang dari Jepang. Akan tetapi, para anggota komite tersebut banyak yang terlibat skandal dengan pihak Jepang sehingga tidak ada transparansi terkait pembayaran dan pengeluaran.

Kebijakan Kesehatan Kesehatan menjadi aspek penting dalam satu dekade kedaulatan RI. Agar dapat mewujudkan pengobatan dan kesehatan yang bisa dijangkau masyarakat luas, dr. Johannes Leimena dan Abdoel Patah merumuskan program yang dikenal dengan Bandung Plan. Konsep Bandung Plan menyatakan bahwa pelayanan kesehatan pada aspek preventif dan kuratif tidak boleh dipisahkan, baik yang berada di rumah sakit maupun di pos-pos kesehatan. Konsep yang dipresentasikan Leimena-Patah ini kemudian diterapkan pada pendidikan kedokteran pada tahun 1952 dan mulai diintegrasikan di pusatpusat kesehatan masyarakat. Nantinya, salah satu wujud integrasi ini adalah keberadaan pos pelayanan terpadu (posyandu).

Kebijakan Pendidikan

Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Mr. Wongsonegoro dan Menteri Agama H. Wahid Hasyim memberikan perubahan dalam sistem pendidikan dengan menetapkan UU No. 4 Tahun 1950. Perubahan tersebut meliputi: • Pelajaran pendidikan agama diberikan

pada Sekolah Rendah (umum) dan Lanjutan (Kejuruan) yang dimulai pada siswa kelas 4 maksimal 2 jam per minggu. • Pada siswa kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Rakyat, pemakaian bahasa daerah digunakan sebagai pendamping bahasa Indonesia. • Penggunaan bahasa Indonesia diterapkan sejak kelas 1 Sekolah Rakyat sampai ke perguruan tinggi. • Bahasa Belanda dihapuskan dari sistem pendidikan di Indonesia. • Beberapa sekolah yang masih mengikuti sistem lama warisan Belanda diharuskan untuk mengikuti sistem baru sejak 1951. Pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan yang dikenal dengan nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini merupakan penyempurna Kurikulum 1947. Sistem Kurikulum 1952 sudah mengarah pada sistem pendidikan nasional yaitu mengintegrasikan materi pelajaran sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Kebijakan demokrasi pendidikan dan program wajib belajar 6 tahun diterapkan kepada seluruh warga negara yang sudah berumur 8 tahun. Pemerintah Indonesia saat itu sedang berusaha untuk mengurangi tingginya buta huruf di masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan masyarakat melalui jalur pendidikan di luar sekolah formal juga digalakkan melalui program kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH), Kursus Pendidikan Umum A (KPU/A setara SD), dan Kursus Pendidikan Umum B (KPU/B setara SMP). Perkembangan politik masa 1959—1967 mengalami masa sulit. Kehidupan perekonomian memburuk, terjadi inflasi hingga 600% yang mengakibatkan alokasi anggaran untuk pendidikan semakin mengecil. Kebijakan wajib belajar pun tidak dapat terlaksana dengan baik seiring dengan kegagalan bidang ekonomi dan politik

 

 

 

Perubahan dari RIS Menuju NKRI

Penggagas pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H. J. van Mook. Pembentukan RIS ini sebagai upaya Belanda untuk dapat tetap menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Pemerintahan RIS berkedudukan di Jakarta, sementara pemerintahan RI berkedudukan di Yogyakarta. Pemerintahan RIS dipimpin oleh Presiden Sukarno dan dibantu oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Sistem pemerintahan RIS adalah demokrasi parlementer dengan konstitusi negara bernama Undang-undang Republik Indonesia Serikat. Pemerintahan RI berada di dalam wilayah pemerintahan RIS, tetapi wilayah RI tetap otonom dan tidak tergantung kepada RIS.

Namun, mayoritas masyarakat Indonesia beserta tokoh-tokoh nasional menginginkan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Selain itu muncul gerakan-gerakan persatuan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menentang pembentukan negara federal, termasuk juga dari masyarakat di mayoritas negara bagian RIS.

Negara bagian Sumatera Selatan adalah yang pertama mengawali untuk bergabung dengan Pemerintah RI pada 10 Februari 1950. Selanjutnya, Negara Pasundan berkeinginan untuk ikut bergabung karena merasa kurang mampu memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Negara Pasundan akhirnya bergabung dalam RI sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan RIS No 113 tanggal 11 Maret 1950.

Pemerintah RIS tidak menentang aksi penggabungan dengan RI dan justru mengikuti kemauan Majelis Permusyawaratan. Pemerintah RIS kemudian mengeluarkan undang-undang darurat pada 7 Maret 1950 yang isinya pembubaran negara-negara bagian dan penggabungan ke dalam RI. Akhirnya sampai akhir Maret 1950, tinggal empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan R I. Kondisi tersebut membuat Natsir berinisiatif menyampaikan agar RI dan Negara-negara bagian RIS berbaur dalam NKRI. Usul yang disampaikan dalam sebuat rapat parlemen pada 3 April 1950ini kemudian dikenal dengan istilah Mosi Integral Natsir. Kepiawaiannya dalam lobi politik membuahkan hasil. Kalimantan Barat masuk ke dalam negara bagian RI melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada 22 April 1950

Jelang pertengahan 1950, RIS hanya menyisakan tiga negara yaitu Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI. Pada tanggal 3—5 Mei 1950 diadakan perundingan yang menyepakati pembentukan NKRI. Akan tetapi, pembentukan NKRI tidaklah semudah menggabungkan negara bagian RIS ke RI. Hal ini berhubungan dengan pengakuan kedaulatan dari dunia internasional karena yang diakui kedaulatannya dalam KMB adalah RIS. Solusi pemecahan persoalan ini adalah dengan mengubah konstitusi RIS yang berbentuk negara federal menjadi NKRI. Akhirnya, Presiden Sukarno mengganti RIS dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Moh. Natsir, Sang Pelopor Wacana Kembalinya NKRI

Natsir merupakan satu tokoh penting Indonesia pada tahun 1950-an. Dengan menyampaikan Mosi Integral dalam sebuah sidang parlemen pada 3 April 1950, Moh. Natsir berhasil melobi banyak fraksi agar bersepakat untuk kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya terpecah-pecah dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai tokoh yang pernah menjabat sebagai perdana menteri, Natsir dikenal sebagai tokoh yang karismatik dan sederhana. Agar dapat lebih jauh menggali tentang sejarah dan kepribadian Mohammad Natsir, kalian dapat melihat dokumentasi sejarahnya.

Peran Rakyat dalam Revolusi Nasional

Persoalan upaya mempertahankan kemerdekaan bukan hanya berada pada pundak para elite negara dan militer, melainkan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, rakyat Indonesia rela bertaruh nyawa dan bahu-membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut berbagai peran masyarakat Indonesia pada masa Revolusi Nasional.

Peran Perempuan

Pemerintah RI menyerukan para perempuan yang sebelumnya tergabung dalam Fujinkai (organisasi wanita bentukan Jepang) agar masuk dalam berbagai wadah organisasi perempuan Indonesia. Dengan demikian, para perempuan Indonesia segera dapat menyalurkan tenaganya untuk kepentingan perjuangan, terutama dalam bidang-bidang sosial. Menarik untuk dicermati, meski sebagian besar tidak turut langsung memanggul senjata dalam perlawanan, kaum perempuan seringkali berada di garis depan sebagai informan dan penyalur kebutuhan para pejuang. Di beberapa daerah, para istri dan remaja putri mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan logistik, obat-obatan, bahkan pembiayaan perang. Selama masa Revolusi, perempuan Indonesia berjuang melalui berbagai cara sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah masing-masing

Peran Medis dan Kesehatan

 Dalam situasi perang yang rentan menimbulkan korban, bidang medis dan kesehatan menjadi faktor penunjang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di Aceh, para perempuan anggota Palang Merah Indonesia membentuk satuan tugas yang selalu siaga dikirim dan diberangkatkan ke medan laga untuk menolong korban perang. Sementara itu, para perempuan di Sulawesi Utara berulang kali berjuang untuk menerobos blokade dan pertahanan Belanda untuk mencari obat-obatan yang saat itu sukar diperoleh. Peran serupa juga dilakukan oleh anggota perempuan palang merah di Bali. Mereka menjalin kontak rahasia dengan rekan di kota-kota untuk menyalurkan bantuan ke desa dan daerah gerilya. Dengan ketrampilannya, para perempuan Bali ini juga meramu berbagai tanaman obat untuk mengatasi kekurangan obat-obatan. Di Indonesia timur, para perempuan Maluku juga berperan aktif sebagai tenaga sukarela di berbagai rumah sakit sebagai tenaga perawat. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang membantu perjuangan di Jawa. Pada masa Agresi Militer Belanda, para tenaga medis dari Maluku ini tercatat bertugas memeriksa para pengungsi yang berpindah dan datang ke Yogyakarta.

Pendidikan

Meski di masa perang, pendidikan terhadap generasi penerus bangsa tetap harus dilaksanakan. Selepas kemerdekan, pelajar putri di Aceh diberian pelatihan kepanduan untuk melatih kemampuan intelijen dan perkembangan fisik, semangat, dan cinta tanah air. Saat Revolusi pecah, para perempuan di Aceh menjadi guru sukarela untuk mendidik anak-anak bangsa dan memberantas buta huruf di Sekolah Rendah. Hal serupa juga dilakukan para perempuan pejuang di Tondano dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Bangsa pada November 1945. Yayasan ini mendirikan Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan (SMRK). Sekolah ini senantiasa juga menyisipkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan secara sembunyi-sembunyi di setiap pembelajarannya.

 

Dapur Umum dan Logistik Keberlangsungan perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak akan lama apabila tidak ada asupan makanan yang memadai. Karenanya, keberadaan dapur umum yang dikelola oleh para perempuan berperan sangat penting dalam perjuangan. Tak heran, keberadaan markas para pejuang selalu diiringi dengan keberadaan dapur umum. Di Maluku, para istri dan remaja putri Barisan Pejuang Indonesia mendirikan dapur umum untuk menyediakan makanan serta tempat tinggal bagi para pejuang dan pengungsi. Para istri ini juga menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarga di saat suami mereka berperang di garis depan. Sementara itu di Aceh, selain membuat dapur umum untuk gerilyawan, para perempuan Aceh secara spontan dan sukarela menggalang dana dengan cara memberikan perhiasan dan barang berharga lainnya. Dana itu salah satunya digunakan untuk pembelian pesawat Dakora RI-001 Seulawah, pesawat pertama milik RI.

Peran Seniman dan Sastrawan

Dibanding para politisi dan militer, peran para seniman dan sastrawan memang kurang menonjol dalam catatan sejarah. Namun, peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan cukup penting dan masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Sebagai bentuk ekspresi diri, karya para seniman di masa kemerdekaan membangkitkan semangat juang dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Karya ini ada yang dituangkan dalam medium tembok dan selebaran, ada juga yang mengisi ilustrasi atau karikatur di surat kabar. Mereka menggunakan alat dan media yang sangat sederhana untuk berkarya. Namun, keterbatasan tersebut tidak menghalangi para seniman untuk menyebarkan semangat perjuangan.

Peristiwa perang kemerdekaan dan masa revolusi rupanya ikut membentuk dan mengasah karakter seniman lukis Indonesia. Seniman yang mengalami masa revolusi memiliki rekaman situasi kehidupan pada masa perjuangan fisik yang dituang melalui karya. Beberapa maestro lukis Indonesia seperti S. Sudjojono, Affandi, Dullah, dan Hendra Gunawan adalah contohnya. Di bidang seni peran, para seniman juga turut ambil bagian. Prihatini (2015) menengarai perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta menjadi titik penting perkembangan seni peran di masa revolusi. Para seniman berulang kali mengungsi bersama rakyat dan pejuang lainnya. Pengalaman ini mereka tuangkan melalui sandiwara dan seni teater sebagai bahan refleksi sekaligus hiburan bagi rakyat. Beberapa contoh cerita yang dipentaskan di antaranya “Semarang”; “Awan Berarak” disutradarai oleh Murtono; “Mutiara dari Nusa Laut” karya Usmar Ismail, Sri Murtono, dan Djayakusuma; “Kisah Pendudukan Yogya” disutradarai oleh Dr. Huyung. Salah satu seniman peran yang produktif adalah Sri Murtono dengan karyanya “Di belakang Kedok Jelita”, “Revolusi”, “Di Depan Pintu Bharatayuda”, dan “Tidurlah Anakku”. Di bidang seni musik, lagu-lagu propaganda menjadi pembakar semangat rakyat dan para pejuang. Lagu “Maju Tak Gentar” dan “SorakSorak Bergembira” diciptakan oleh Cornel Simanjuntak pada awal masa revolusi. Kedua lagu ini lahir dalam konteks pertempuran pemuda Indonesia melawan Belanda dan sekutu yang tidak seimbang dari segi

peralatan senjata. “Maju Tak Gentar” dan “Bagimu Negeri” berupaya memotivasi perjuangan pemuda Indonesia dalam membela tanah air Lagu-lagu perjuangan juga berfungsi sebagai pengingat peristiwa revolusi, misalnya lagu “Halo-Halo Bandung” karya Ismail Marzuki yang merekam peristiwa Bandung Lautan Api. Pada masa revolusi, para sastrawan ikut berjuang dengan menghasilkan karya yang mampu memperkaya pengalaman, menanamkan kesadaran, dan menumbuhkan kepekaan. Salah satu pengarang produktif di masa Revolusi adalah Pramoedya Ananta Toer. Antara tahun 1947 —1957, ia telah melahirkan enam novel dan beberapa kumpulan cerpen berlatar masa Revolusi. Beberapa di antaranya Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Keluarga Gerilya (1950), Dia yang Menyerah (1951) , dan Bukan Pasar Malam (1951). Selain Pram, ada juga Idrus yang menulis karya berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948). Buku ini merupakan kumpulan kisah-kisah dari zaman pendudukan Jepang hingga revolusi fisik di antaranya berjudul “Surabaya”, “Dari Ave Maria”, “Jalan Lain ke Roma”

Peran Pelajar dan Mahasiswa

Keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia memunculkan komitmen seluruh masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk kelompok pelajar. Pada Juli 1945, para pelajar setingkat SMP dan SMA di Surabaya pada Juli 1945 berikrar untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 25 September 1945, di Yogyakarta diselenggarakan rapat umum yang dihadiri para pemudadan peajar dari Jawa dan Madura. Pada September 1945, para pelajar Magelang membentuk Gabungan Sekolah Menengah yang kemudian melebur dengan Ikatan Pelajar Indonesia Kedu. Pembentukan perkumpulan-perkumpulan pelajar di beberapa wilayah di Indonesia tersebut menunjukkan tumbuhnya rasa patriotisme pelajar Indonesia. Semangat inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).

Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, para pengurus IPI juga ikut mengungsi. Di ibu kota yag baru ini, para anggota IPI menginginkan. adanya pasukan tempur sendiri dari kelompok pelajar. Oleh karena itu, IPI membentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP) yang merupakan cabang di bagian pertahanan. MPP memiliki tiga resimen yang tersebar di Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pada 17 Juli 1946, di Lapangan Pingit Yogyakarta, Mayor Jenderal dr. Moestopo resmi melantik dan mengukuhkan pasukan pelajar ini sebagai Tentara Pelajar. Di samping latihan rutin baris-berbaris dan bela negara, Tentara Pelajar ini juga aktif menjalankan perannya sebagai pelajar. Ketika keadaan genting dan tugas negara memanggil, dengan segera para pasukan intelektual ini berubah peran menjadi tentara pelajar. Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Tentara Pelajar Indonesia masuk ke dalam jajaran Brigade 17 TNI di bawah kendali Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Keberadaan Tentara Pelajar memang secara resmi dibubarkan pada awal 1951. Namun, peran aktif pelajar sebagai generasi penerus dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan senantiasa tak lekang oleh zaman.

 

Pembentukan Republik Indonesia Serikat

Isi perjanjian KMB diterima KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Kemudian, pada 14Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara bagian dan daerah untuk membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa

UUD 1945 menjadi konstitusi RIS. Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI,pembentukan RIS sangat merugikan, tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima.

Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan perdana menteri (pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai pemerintah. Kemudian,dibntuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan DPR.Senat merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing diwakili dua orang,sedangkan DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakil wakil seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu:a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa Barat). 4)Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian.

Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden RIS dan dilantik pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta dilantik. Dengan terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS. Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negara negara federasi. Setelah Sukarno diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami kekosongan jabatan. Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assat, ditunjuk sebagai pejabat presiden RI dan dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah inidiambil untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu RIS bubar, RI tetap ada.

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia