Sebagai konsekuensi atas perjanjian Roem-Royen pada 18 Juni 1949, Menteri Koordinator Keamanan Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan perintah kepada PDRI untuk menghentikan tembak-menembak. Ini dimaksudkan agar daerah Yogyakarta disiapkan untuk mengosongkan tentara Belanda. Pada 29 Juni 1949, pasukan Belanda berangsur-angsur meninggalkan Yogyakarta. Begitu juga pasukan TNI berangsur-angsur masuk ke Kota Yogyakarta. Peristiwa 248 keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Yogya Kembali.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta bertolak dari Pangkalpinang (pengasingan) menuju Yogyakarta disertai oleh
pemimpin-pemimpin Republik yang diasingkan di Bangka. Ada tiga kelompok
pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta, yakni: a). Kelompok
pimpinan Republik Indonesia yang diasingkan di Bangka. b). Kelompok PDRI yang
dipimpin oleh Syafruddin Parwiranegara. c). Kelompok angkatan perang yang melakukan
gerilya pimpinan Jenderal Sudirman.
Setibanya di Gedung Negara,Sukarno memberikan sambutan,
"... Kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta adalah nyata bahwa
perjuangan kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan. Dua faktor utama yang
memungkinkan kembalinya pemerintahan RI ke Yogya adalah pertama, kekuatan dan
keuletan rakyat, kedua bantuan dunia internasional." Dengan demikian
menjadi kenyataan bahwa pemerintahan RI telah kembali. Wakil-wakil dari UNCI
(United Nations Commission for Indonesia) dan BFO (Bijeenkomst voor Federal
Overleg) turut serta menerima kedatangan pemimpin-pemimpin RI di Yogyakarta.
Sementara itu, wakil ketua BFO (negara-negara bagian)menemui presiden dan wakil
presiden untuk membicarakan rencana Konferensi Antar-Indonesia dan sekaligus menyampaikan
undangan untuk hadir dalam konferensi itu.
Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba
di ibu kota RI Yogyakarta. Sudirman datang ke Alun-alun Utara Keraton
Yogyakarta dengan pasukannya setelah memimpin gerilya. Sudirman dijemput
Letkol. Suharto di bagian selatan kota Yogyakarta. Sudirman dipikul dengan
tandu karena menderita sakit paru-paru dan sukar untuk berjalan.
Tandu diletakkan pelan-pelan dan keluarlah Sudirman dengan
pelan tetapi berdiri tegak walaupun berjalan dibantu tongkat. Panglima Besar
menggunakan pakaian Jawa,baju lurik, kain kehitam-hitaman, ikat kepala wulung,
serta berjas panjang dan terselip keris pusaka di bagian muka sabuk. Setibanya
di Alun-alun Utara, Sudirman melakukan parade dan disambut Sukarno dengan hangat.
Keduanya berpelukan erat sebagai tanda kerinduan masing-masing. Ketika melakukan parade, para
komandan satu per satu mendapat tepukan pada bahu dari panglima besar dan para
komandan itu tidak dapat menahan perasaannya melihat wajah panglimanya dan menitikkan
air mata karena haru.
Selesai melakukan parade, Sudirman bersalaman dengan
Syafruddin Prawiranegara yang berpakaian hitam dan memakai peci hitam yang baru
tiba pada hari itu,Minggu, 10 Juli 1949. Lengkaplah sudah semua pimpinan negara
di Yogyakarta, baik yang dari Bangka, dari Pemerintah Darurat RI di Sumatera,
maupun Pimpinan Angkatan
Perang. Jalan yang akan ditempuh kini dapat dibicarakan
bersama. Strategi perang Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai
"Perang Gerilya". Strategi perang ini kemudian ditulis dalam sebuah
buku oleh A.H. Nasution dengan judul Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan
Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang Akan Datang.Ternyata buku ini
dijadikan acuan atau panduan tentara Vietnam di bawah pimpinan Jenderal Nguyen
Giap dan berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
Hingga kini, buku A.H. Nasution tersebut menjadi bacaan wajib bagi Taruna
Akademi Militer Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar