Selasa, 16 Juli 2024

Peristiwa Yogya KembalI

Sebagai konsekuensi atas perjanjian Roem-Royen pada 18 Juni 1949, Menteri Koordinator Keamanan Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan perintah kepada PDRI untuk menghentikan tembak-menembak. Ini dimaksudkan agar daerah Yogyakarta disiapkan untuk mengosongkan tentara Belanda. Pada 29 Juni 1949, pasukan Belanda berangsur-angsur meninggalkan Yogyakarta. Begitu juga pasukan TNI berangsur-angsur masuk ke Kota Yogyakarta. Peristiwa 248 keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Yogya Kembali.

Pada 6 Juli 1949, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta bertolak dari Pangkalpinang (pengasingan) menuju Yogyakarta disertai oleh pemimpin-pemimpin Republik yang diasingkan di Bangka. Ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta, yakni: a). Kelompok pimpinan Republik Indonesia yang diasingkan di Bangka. b). Kelompok PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Parwiranegara. c). Kelompok angkatan perang yang melakukan gerilya pimpinan Jenderal Sudirman.

Setibanya di Gedung Negara,Sukarno memberikan sambutan, "... Kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta adalah nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan. Dua faktor utama yang memungkinkan kembalinya pemerintahan RI ke Yogya adalah pertama, kekuatan dan keuletan rakyat, kedua bantuan dunia internasional." Dengan demikian menjadi kenyataan bahwa pemerintahan RI telah kembali. Wakil-wakil dari UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) turut serta menerima kedatangan pemimpin-pemimpin RI di Yogyakarta. Sementara itu, wakil ketua BFO (negara-negara bagian)menemui presiden dan wakil presiden untuk membicarakan rencana Konferensi Antar-Indonesia dan sekaligus menyampaikan undangan untuk hadir dalam konferensi itu.

Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba di ibu kota RI Yogyakarta. Sudirman datang ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta dengan pasukannya setelah memimpin gerilya. Sudirman dijemput Letkol. Suharto di bagian selatan kota Yogyakarta. Sudirman dipikul dengan tandu karena menderita sakit paru-paru dan sukar untuk berjalan.

Tandu diletakkan pelan-pelan dan keluarlah Sudirman dengan pelan tetapi berdiri tegak walaupun berjalan dibantu tongkat. Panglima Besar menggunakan pakaian Jawa,baju lurik, kain kehitam-hitaman, ikat kepala wulung, serta berjas panjang dan terselip keris pusaka di bagian muka sabuk. Setibanya di Alun-alun Utara, Sudirman melakukan parade dan disambut Sukarno dengan hangat. Keduanya berpelukan erat sebagai tanda kerinduan  masing-masing. Ketika melakukan parade, para komandan satu per satu mendapat tepukan pada bahu dari panglima besar dan para komandan itu tidak dapat menahan perasaannya melihat wajah panglimanya dan menitikkan air mata karena haru.

Selesai melakukan parade, Sudirman bersalaman dengan Syafruddin Prawiranegara yang berpakaian hitam dan memakai peci hitam yang baru tiba pada hari itu,Minggu, 10 Juli 1949. Lengkaplah sudah semua pimpinan negara di Yogyakarta, baik yang dari Bangka, dari Pemerintah Darurat RI di Sumatera, maupun Pimpinan Angkatan

Perang. Jalan yang akan ditempuh kini dapat dibicarakan bersama. Strategi perang Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai "Perang Gerilya". Strategi perang ini kemudian ditulis dalam sebuah buku oleh A.H. Nasution dengan judul Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang Akan Datang.Ternyata buku ini dijadikan acuan atau panduan tentara Vietnam di bawah pimpinan Jenderal Nguyen Giap dan berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Hingga kini, buku A.H. Nasution tersebut menjadi bacaan wajib bagi Taruna Akademi Militer Amerika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia