Sabtu, 03 Juni 2023

Partai Indonesia (Partindo)

Partai Indonesia (Partindo) didirikan di Jakarta pada 30 April 1931. Pendirian partai ini merupakan hasil keputusan Sartono sewaktu ia menjabat ketua PNI-Iama menggantikan Sukarno yang ditangkap pemerintah Belanda pada tahun 1929. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo yang memiliki tujuan pokok sama dengan PNI-lama, yaitu mencapai Indonesia merdeka dengan menjalankan politik nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda.

Tindakan Sartono ini mendapat reaksi keras dari anggota PNI-lama, di antaranya Moh. Hatta dan Sutan Syahrir, serta golongan yang tidak menyetujui dengan pembubaran ini. Mereka membentuk Golongan Merdeka dan menjadi organisasi baru bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru). Partindo dan PNI-baru pun bersaing dalam memperoleh simpati rakyat.

Setelah Sukarno dibebaskan dari Penjara Sukamiskin pada tahun 1932, ia bertekad menyatukan kembali PNI-baru dengan Partindo. Akan tetapi, usahanya mengalami kegagalan sehingga ia akhirnya memutuskan untuk memilih Partindo karena organisasi tersebut lebih sesuai dengan pribadinya dan menawarkan kebebasan untuk mengembangkan kemampuan agitasinya. Ia mengumumkan keputusannya tersebut pada 1 Agustus 1932.

Jumlah anggota Partindo tahun 1932 meningkat cukup pesat karena daya tarik Sukarno. Akan tetapi, kewibawaannya telah menurun dibandingkan saat ia memimpin PNI-lama. Pendapat pendapatnya sering kali ditentang oleh  pengurus  Partindo lainnya dan peranannya lebih terbatas di Partindo Cabang Bandung. Meskipun demikian, usul Sukarno untuk mengganti nama Partindo menjadi PNI (Partai Nasional Indonesia) mendapat dukungan dari banyak anggota. Meskipun mendapat banyak dukungan, usul tersebut menemui kegagalan, tetapi konsepnya tentang Marhaenisme dan sosio-ekonomi diterima partai.

Sejak Sukarno memilih Partindo, maka PNI-baru berjuang sekuat tenaga untuk menarik simpati rakyat. Antara kedua organisasi ini kadang terjadi saling ejek- mengejek. Pemimpin Partindo seperti Sartono dan Sujudi dinilai sebagai kaum borjuis nasionalis yang menentang kapitalisme Barat tetapi mendukung kapitalisme Indonesia. Gerakan Swadesi Partindo juga mendapat kritikan.

Menurut Hatta dan Syahrir, kaum nasionalis harus bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Aktivitas Partindo juga dihambat oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun mendapat pembatasan-pembatasan dan pelarangan, tokoh-tokoh Partindo tidak pernah menggubrisnya. Lewat majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia Moeda, mereka melancarkan kritik pedas tentang situasi ekonomi, sosial, dan mengejek tindakan imperialisme Belanda.

Melihat hal itu, Gubernur de Jonge menjalankan kewenangan gubernur jenderal, yaitu exorbitante rechten, membuang aktivis pergerakan yang dianggap membahayakan ketenteraman negara. Sukarno kemudian dibuang ke Ende (Flores). Penangkapan Sukarno dan larangan mengadakan rapat oleh pemerintah memberikan pengaruh kepada partai ini. Pada tahun 1936, pengurus Partindo mengumumkan pembubaran dirinya.

Pembubaran ini atas ide Sartono yang menggantikan kedudukan Sukarno sebagai ketua. Golongan yang tidak setuju kemudian mendirikan Komite Pertahanan Partindo di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran itu, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, tahun 1937, partai tersebut benar-benar bubar dan sebagian besar anggotanya masuk dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo sedikit berbeda dengan Partindo, yaitu menjunjung asas kooperatif terhadap Belanda.


Partai Nasional Indonesia (PNI)

Partai Nasional Indonesia merupakan perkembangan dari kelompok belajar (Algemeene Studie Club). Rapat yang dihadiri Sukarno, Cipto Mangunkusumo, Suyudi, dan beberapa mantan anggota Perhimpunan Indonesia, di antaranya Iskaq Cokroadisuryo, Budiarto, dan Sunario, berhasil membentuk organisasi pergerakan baru yang dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI).

PNI ini sangat terpengaruh oleh Perhimpunan Indonesia. Tujuan didirikannya PNI adalah kemerdekaan Indonesia. Ideologi partai ini dikenal dengan istilah Marhaenisme, yaitu suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan terbentuknya masyarakat sejahtera yang merata. Adapun perjuangan PNI didasarkan pada trilogi perjuangan, yaitu kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.

Dengan trilogi perjuangannya ini, PNI berhasil menghimpun partai-partai lain ke dalam suatu organisasi bersama, yaitu Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PNI bersama partai lain dalam PPPKI melakukan propaganda untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia.


Tindakan PNI itu tentu saja menggusarkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda melakukan tindakan keras dengan menggeledah markas PNI dan menangkap para tokohnya. Dalam peristiwa penangkapan yang terjadi pada 28 Desember 1929 itu, pemerintah Belanda berhasil menangkap Sukarno, Maskun, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata.

Mereka kemudian diajukan ke pengadilan kolonial. Dalam sidang di pengadilan kolonial Bandung, Sukarno dan kawan kawannya didampingi pembela, yaitu Sastro Mulyono, Sartono, dan Suyudi, yang juga merupakan anggota PNI. Dalam sidang itu, Sukarno menyampaikan pembelaannya yang diberi judul Indonesia Menggugat. Di sana, Soekarno mengungkapkan bahwa pergerakan di kalangan rakyat bukanlah hasil dari hasutan, melainkan reaksi yang wajar dari kaum tertindas yang ingin merdeka. Namun, meskipun pengadilan tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, Sukarno dan kawan-kawan tetap dijatuhi hukuman penjara.


Partai Komunis Indonesia (PKI)

Istilah komunis, berasal dari bahasa Latin “comunis” yang artinya “milik bersama”. Istilah ini berakar dari pemikiran Karl Marx dan Lenin. Dalam perkembangannya, komunis terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran sosial demokrat yang disebut juga sosialisme serta aliran komunisme ajaran Marx dan Lenin.

Aliran yang pertama bertujuan membentuk pemerintahan demokratis parlementer dengan pemilihan. Sedangkan yang kedua “Komunisme Marx” yang menjadi dasar perjuangan Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung adalah komunisme “Diktator Proletar” yang menolak sistem demokrasi parlementer.

Pada tahun 1913, H.J.F.M. Hendriek Sneevliet, bekas anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Negeri Belanda, tiba di Jawa sebagai sekretaris serikat dagang perusahaan Belanda. Tahun berikutnya ia mendirikan perkumpulan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) bersama dengan Bergsma, Brandstander, dan H.W. Dekker. Tujuannya adalah menyebarkan Marxisme. Semula, anggotanya hanya orang-orang Belanda saja, seperti Cramer, Van Gelderen, dan Strokis.


Demi kemajuan perkumpulan, Sneevliet mendekati Sarekat Islam Cabang Semarang yang dipimpin Samaun dan Darsono. Pendekatan itu berhasil dengan baik. Samaun dan Darsono dipengaruhi dan masuk sebagai anggota ISDV. PKI sendiri berdiri pada tahun 1920 dengan Semaun sebagai ketuanya.


Dalam perjuangannya, PKI menggunakan strategi garis komunis internasional, yaitu dengan melakukan penyusupan ke dalam tubuh partai-partai lain. Tujuannya agar organisasi lain terpecah belah dan anggotanya beralih menjadi anggota PKI sehingga kelak mereka dapat membentuk negara komunis. Salah satu organisasi yang disusupi PKI adalah Sarekat Islam. Hal itu mungkin karena Sarekat Islam memperkenankan adanya keanggotaan rangkap, sehingga timbul SI putih dan SI merah (telah disusupi ISDV atau PKI).

PKI yang sebagian besar anggotanya adalah kaum buruh sejak semula sudah sadar bahwa pemerintah Belanda selalu menindas rakyat, termasuk kaum buruh. Untuk itu, setiap ada kesempatan, PKI selalu melakukan pemogokan dan kekacauan, dengan puncak berupa pemberontakan.

Pemberontakan PKI meletus pada tahun 1926 di Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, kemudian meluas ke Sumatra pada tahun 1927. Akan tetapi, pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga banyak anggota PKI yang ditawan dan sebagian dibuang ke Tanah Merah dan Digul, Irian Barat. Di antara mereka terdapat Aliarkham dan Sarjono, 110 sementara Alimin dan Muso berhasil melarikan diri ke luar negeri.



Perhimpunan Indonesia

Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereniging Salam Historia Lagu “Indonesia Raya” diciptakan W.R. Supratman tahun 1924. Saat itu, umur pemuda yang berasal dari Purworejo ini baru 24 tahun. Lagunya baru diperdengarkan kepada publik tahun 1928. Siapa sangka, pada uang kertas Rp 50.000,00 edisi W.R. Supratman ada tulisan kecil/micro word teks asli lagu Indonesia Raya hasil ciptaannya (1908), yaitu perkumpulan Hindia yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina, dan Belanda.

Organisasi itu didirikan oleh R.M. Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat. Semula, organisasi itu bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Organisasi  itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera. Banyaknya pemuda pelajar di Tanah Hindia yang dibuang ke Belanda semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan itu mengutamakan masalah- masalah politik. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat di antara mahasiswa Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya, pada tahun 1925, perkumpulan itu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dengan pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, J.B. Sitanala, Moh. Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas nasionalis yang muncul di luar tanah air.

Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka, dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan. Perhimpunan Indonesia semakin mendapat simpati dari para mahasiswa Indonesia di Tanah Belanda. Jumlah keanggotaannya semakin bertambah banyak. Tahun 1926, jumlah anggota mencapai 38 orang. Di Tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan kepada semua pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka. PI bersemboyan “self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak meminta-minta dan menuntut-nuntut.

Dalam anggaran dasarnya juga disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan tidak mungkin diadakan kerja sama (nonkooperasi). Bangsa Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain. PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional.

Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera. Dengan demikian, jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto politik pergerakan Indonesia karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat itu menjadi penjajah Tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan Indonesia. Jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya dengan segala risikonya.


Gerakan Perempuan

Kemunculan organisasi-organisasi wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini untuk memperjuangkan kedudukan sosial wanita. Pada awal kemunculannya, pergerakan wanita belum begitu mempersoalkan masalah-masalah yang menyangkut politik, fokus mereka adalah pada perbaikan dalam hidup berkeluarga dan meningkatkan kecakapan sebagai seorang ibu.

Pada tahun 1912, atas segala usaha Budi Utomo, berdirilah organisasi Putri Merdika di Jakarta. Organisasi ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Kemunculan Putri Merdika kemudian disusul oleh munculnya organisasi pendidikan Kautaman Istri yang dirintis oleh Dewi Sartika sejak tahun 1904, sebelum akhirnya berubah menjadi Vereninging Kaoetaman Istri.

Mulai tahun 1910, sekolah ini diurus oleh sebuah panitia yang terdiri dari Njonja Directour Opleidingschool, Raden Ajoe Regent, Raden Ajoe Patih, dan Raden Ajoe Hoofd-Djaksa. Selanjutnya, Kautaman Istri berdiri di beberapa wilayah lain, yakni Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). Organisasi-organisasi wanita juga muncul di daerah Jawa Tengah seperti Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jepara (1915).

Organisasi-organisasi tersebut memfokuskan pada pelatihan untuk memajukan kecapakan wanita, khususnya kecakapan rumah tangga. Selain itu juga  bertujuan untuk mempererat persaudaraan antara kaum ibu. Tidak hanya di Jawa, organisasi- organisasi wanita juga bermunculan di luar Jawa. Di antaranya adalah “Kaoetaman Istri Minangkabau” di Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai Setia” di Kota Gedang, Sumatra Barat tahun 1914. Banyak keterampilan kerumahtanggaan diajarkan di sekolah-sekolah ini.

Salah satu tokoh wanita yang berpengaruh di luar Jawa adalah Maria Walanda Maramis. Pada tahun 1918, melalui perkumpulan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (P.J.K.A.T) yang dibentuknya, pada tahun 1917 ia mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado dengan 20 murid tamatan sekolah dasar.

Setelah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya, terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama organisasi politik induk. Dengan semakin bertambahnya organisasi wanita, setiap organisasi politik mempunyai bagian kewanitaan, misalnya Wanudyo Utomo yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Namun, tidak semua organisasi wanita yang muncul selalu identik dengan politik. Salah satu contohnya adalah kemunculan ‘Aisyiyah di Muhammadiyah yang memfokuskan tujuannya pada kegiatan sosial keagamaan.










Beberapa organisasi di atas, ada jenis organisasi wanita lain yang merupakan organisasi terpelajar seperti Putri Indonesia, JIB dames Afdeling, Jong Java bagian wanita, organisasi Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Dari beberapa jenis organisasi wanita tersebut, paham kebangsaan dan persatuan Indonesia juga diterima di kalangan organisasi ini. Oleh karena itu, untuk membulatkan tekad dan mendukung persatuan Indonesia, diadakan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22-25 November 1928. Kongres tersebut bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan memajukan wanita Indonesia serta membuat gabungan organisasi wanita. Beberapa organisasi yang hadir dalam kongres tersebut ialah Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanito Mulyo, ‘Aisyiyah, SI bagian wanita, dan lain-lain.


Kongres ini menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Setahun kemudian, pada 28-31 Desember 1929, PPI mengadakan kongres di Jakarta. Pokok pembahasan di dalam kongres masih mengenai kedudukan wanita dan antipoligami. Selain itu, kongres juga memutuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang bertujuan untuk memperbaiki nasib dan derajat wanita Indonesia. Dengan dana yang dikumpulkannya, diharapkan mampu memperbaiki nasib wanita pada masa itu.


Organisasi ini tidak mencampuri politik dan agama. Pada tahun 1930, atas anjuran PNI, didirikan organisasi wanita kebangsaan bernama Istri Sedar (IS) di Bandung. Organisasi ini memusatkan tenaganya di bidang ekonomi dan kemajuan wanita. IS bersikap netral terhadap agama dan menjangkau semua lapisan wanita, baik golongan atas atau bawah. IS juga tidak secara langsung terjun ke dalam politik, tetapi pemerintah selalu mengamati aktivitas organisasi itu, terutama setelah mengadakan kongres pada 4-7 Juni 1931. Dalam propagandanya, IS sering menyuarakan antikolonial. Selain itu, ada sebuah organisasi wanita yang sangat mengecam pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan “Mardi Wanita” yang didirikan tahun 1933 oleh anggota-anggota wanita partai politik Partai Indonesia (Partindo) setelah partai ini dikenakan vergadeverbod (larangan mengadakan rapat) oleh pemerintah kolonial.


Organisasi ini mempunyai banyak cabang terutama di Jawa Tengah dan namanya diganti menjadi “Persatuan Marhaen Indonesia” yang berpusat di Yogyakarta. Akan tetapi, setahun kemudian, organisasi ini dikenai larangan dan ketuanya, S.K. Trimurti dimasukkan ke penjara karena masalah pamflet. PPII dan IS dapat dikatakan sebagai organisasi wanita yang berpengaruh saat itu. Namun, keduanya justru larut ke dalam konflik antarorganisasi. Sejak awal pendiriannya, IS terus berselisih dengan PPII. IS mencemooh karena PPII hanya bergerak untuk memajukan sejahteraan wanita seperti di negara merdeka. Menurutnya, perjuangan wanita sudah sewajarnya masuk ke lapangan politik. Di satu sisi, PPII sebagai federasi organisasi wanita tidak dapat bekerja sama dengan IS yang lebih banyak menyerang federasi itu. Akan tetapi, keduanya juga saling bekerja sama dalam rangka pengiriman delegasi kongres Wanita Asia di Lahore.


Pada 20-24 Juli 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) kedua diadakan di Jakarta. Beberapa keputusan KPI adalah mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia. Selain itu, juga didirikan pula Badan Kongres Perempuan Indonesia sekaligus mengakhiri kiprah PPII. Selanjutnya, KPI ketiga diadakan di Bandung pada 25-28 105 Juli 1938. Kongres tersebut menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. Peringatan hari ibu setiap tahun diharapkan dapat mendorong kesadaran wanita Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa. Dengan mulai banyaknya kaum wanita yang bekerja di lapangan, maka dirasakan perlunya membentuk sebuah organisasi.


Oleh karena itu, pada tahun 1940 di Jakarta dibentuk perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia (PPI) yang terdiri dari mereka yang bekerja di kantor-kantor pemerintah atau swasta, guru, perawat, dan buruh. Mereka menyatukan diri meskipun bekerja di bidang yang berbeda-beda karena mereka merasa senasib, yakni diskriminasi kaum wanita terlihat jelas dalam kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Kendati demikian, perkumpulan itu tidak melakukan kegiatan sebagai serikat pekerja, melainkan menekankan pada pendidikan keterampilan untuk mata pencaharian dan pembentukan kesadaran nasional. Satu hal yang juga mencerminkan kemajuan wanita adalah terbentuknya perkumpulan dalam kalangan mahasiswi dengan nama Indonesische Vrouwelijke Studentedvereniging (perkumpulan mahasiswi Indonesia) di Jakarta pada tahun 1940. Kegiatan organisasi- organisasi wanita dalam tahun sebelum pecah Perang Pasifik yang pantas dicatat adalah rapat protes yang diselenggarakan atas prakarsa delapan perkumpulan.


Protes ini muncul karena tidak adanya anggota wanita dalam Volksraad (semacam DPR sekarang). Rapat ini diadakan di Gedung Permufakatan Indonesia, Gang Kenari, Jakarta, yang dihadiri 500 dari 45 perkumpulan. Organisasi-organisasi itu juga mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen sebagai wakil rakyat. Dapat dikatakan bahwa dalam periode ini kaum wanita telah menaruh perhatian pada perjuangan politik, baik dengan sikap kooperatif maupun nonkooperatif dengan pemerintah kolonial.


Gerakan Pemuda

Organisasi politik yang kedua adalah gerakan pemuda. Sejak berdirinya Budi Utomo, unsur pemuda Indonesia mulai terlibat. Namun, unsur pemuda ini tidak lama bertahan dalam Budi Utomo karena didominasi oleh golongan tua atau priayi. Setelah itu, gerakan pemuda mulai tumbuh dan berkembang secara mandiri di berbagai daerah di Indonesia. Bermula dari gerakan solidaritas yang bersifat informal, gerakan-gerakan pemuda ini kemudian menjelma menjadi gerakan politik yang bercita-cita mewujudkan Indonesia yang merdeka dan maju.

Gerakan pemuda yang muncul pertama kali adalah Trikoro Dharmo yang merupakan cikal bakal dari Jong Java. Organisasi ini didirikan oleh R. Satiman Wiryosanjoyo, dan kawan-kawan di gedung STOVIA, Batavia pada tahun 1915. Trikoro Dharmo memiliki misi dan visi yang dikembangkan sebagai tujuan dari Trikoro Dharmo, yaitu mempererat tali persaudaraan antarsiswa  siswi  bumiputra pada sekolah menengah dan kejuruan, menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya. Meski demikian, tujuan sesungguhnya dari organisasi ini adalah mencapai Jawa Raya dengan memperkukuh rasa persatuan antarpemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok.


Dalam kongres pertamanya di Solo pada 12 Juni 1918, organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Jong Java dan berubah haluan menjadi organisasi politik. Dalam kongres selanjutnya di Solo pada tahun 1926, Jong Java mengutarakan hendak menghidupkan rasa persatuan bangsa Indonesia serta kerja sama antarpemuda di seluruh Indonesia. Dengan demikian, organisasi ini menghapus sifat Jawa sentris sehingga lahirlah Perkumpulan Pasundan, Persatuan Minahasa, Molukas, Sarekat Celebes, Sarekat Sumatera, dan lain lain. Selain itu, juga ada organisasi kepemudaan lain yang berasal dari Sumatra dengan nama Jong Sumatranen Bond yang didirikan pada tahun 1917. Dari organisasi ini muncul nama-nama besar seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan Bahder Johan.

Pada kongresnya yang ketiga, organisasi ini melontarkan pemikiran Mohammad Yamin, yakni semua penduduk Nusantara menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan bahasa persatuan. Selanjutnya, pada tahun 1918, berdirilah persatuan pemuda Ambon yang diberi nama Jong Ambon. Kemudian, antara tahun 1918-1919 berdiri pula Jong Minahasa dan Jong Celebes. Salah satu tokoh yang terkenal dari Jong Minahasa adalah Sam Ratulangi.

Pada tahun 1926, berbagai organisasi kepemudaan berkumpul dan mengadakan Kongres Pemuda I di Yogyakarta yang menunjukkan adanya persatuan antar pemuda Indonesia. Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 26-28 Oktober 1928, sebanyak 750 orang wakil dari organisasi-organisasi kepemudaan seluruh Indonesia berhasil menunjukkan persatuan tekad dalam Sumpah Pemuda.

Dalam kongres ini, lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman pertama kali dikumandangkan beriringan dengan dikibarkannya bendera Merah Putih sebagai simbol identitas bangsa. Dalam butir sumpah pemuda yang pertama, “Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia”, menyiratkan makna bahwa banyaknya pulau di Indonesia bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Butir pertama ini juga menjadi tolok ukur kesetiaan rakyat terhadap negaranya.

Butir kedua, yaitu “Berbangsa satu, bangsa Indonesia”, dibutuhkan untuk menguatkan butir pertama. Beragamnya suku bangsa di Indonesia dapat dilihat dalam sejarah berdirinya organisasi pergerakan nasional yang awalnya masih bersifat kesukuan. Contohnya Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Java. Meskipun banyaknya perbedaan dapat menimbulkan konflik, tetapi dengan sikap saling menghormati dan toleransi yang tinggi, perbedaan yang ada dapat menyatukan bangsa menuju kemerdekaan. Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda berbunyi, “Berbahasa satu, bahasa Indonesia.”

Tolok ukur eksistensi suatu bangsa dapat dilihat dari cara dan sikap rakyat dalam berbahasa. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan tanggung jawab bagi setiap warga negara. Latar belakang pemilihan bahasa Melayu berdasarkan bukti sejarah menunjukkan sebagai bahasa penghubung dalam berbagai kegiatan, khususnya perdagangan di wilayah Nusantara. Sumpah Pemuda telah membuktikan bahwa keberagaman masyarakat bukanlah hambatan untuk mencapai persatuan dan kesatuan. Sebaliknya, keberagaman harus disikapi sebagai hal yang mendorong kemajuan bangsa. Semangat Sumpah Pemuda yang mengilhami berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan hingga saat ini.


Indische Partij (IP)

Indische Partij (IP) didirikan oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) pada 25 Desember 1912 di Bandung. Organisasi ini berkomitmen untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia dengan menyebarluaskan paham Indische nationalism (nasionalisme Hindia) yang tidak membedakan keturunan, suku bangsa, agama, kebudayaan, maupun adat istiadat.

Cita-cita tersebut terwujud dalam surat kabar De Expres dengan semboyan “Indische los van Holland” yang berarti Indonesia bebas dari Belanda dan “Indie voor Indiers” yang berarti Hindia untuk orang Hindia.

Adapun Indische Partij memiliki program kerja seperti menanamkan cita-cita nasional Hindia Timur (Indonesia), memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan baik di bidang  pemerintahan  maupun  kemasyarakatan,  memberantas usaha usaha yang menyebabkan kebencian antaragama, memperbesar pengaruh pro- Hindia Timur di lapangan pemerintahan, berusaha mendapatkan kesamaan hak bagi semua orang Hindia, serta dalam hal pengajaran kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia.

Kritik yang terlalu keras membuat Indische Partij mendapat pengawalan lebih ketat dari pihak Belanda. Belanda menolak permohonan organisasi ini untuk mendapat status badan hukum. Kecemasan Belanda mencapai puncaknya pada tahun 1913. Belanda menangkap dan mengasingkan ketiga pemimpin Indische Partij.

Rencana penangkapan dimulai ketika Ki Hajar Dewantara menulis di surat kabar De Expres dengan judul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang Belanda) terbitan 13 Juli 1913. Di dalamnya, Ki Hajar Dewantara menuliskan tentang bagaimana pemerintah Belanda mencari dana dari rakyat Indonesia untuk merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis.

Pada tahun yang sama, pemerintah Belanda menyatakan Indische Partij sebagai organisasi terlarang. Kemudian, organisasi ini berganti nama menjadi Insulinde, tetapi tidak berumur panjang. Pada tahun 1919, organisasi ini berubah nama lagi menjadi National Indische Partij (NIP).

Pada 1914, Dr. Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit, sedangkan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker baru dikembalikan pada tahun 1919. Douwes Dekker tetap bertahan di dunia politik, sedangkan Ki Hajar Dewantara terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa.


Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari partai- partai dan organisasi-organisasi politik yang berdiri pada 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian organisasi nasional  di  Jakarta.  Walaupun  tergabung  dalam  GAPI,  masing masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai, GAPI bertindak sebagai penengah.

Pertama kali, pimpinan dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujono. Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh Perindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Karena melihat gelagat internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan langsung Indonesia dalam perang, maka pembentukan badan ini terasa sangat mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama untuk membela kepentingan rakyat.

Adapun alasan yang tidak kalah penting adalah situasi internasional pada saat itu. Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif M.H. Thamrin (Parindra) mengadakan rapat pada 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang baru. Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada 21 Mei 1939 diadakan rapat umum yang menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris umum, sekretaris pembantu, dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki oleh M.H. Thamrin dari Parindra sebagai bendahara, Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir Sjarifudin dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam Indonesia), PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia), Persatuan Minahasa, dan Pasundan. Dasar dasar federasi meliputi hak menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi, sosial, serta kesatuan aksi.

Sedangkan tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dan mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia. Sesuai dengan anggaran dasarnya, tujuan GAPI adalah 1) menghimpun organisasi- organisasi politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama, 2) menyelenggarakan kongres Indonesia. Pada bagian lain anggaran dasarnya, disebutkan bahwa Gabungan Politik Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal berikut :

1) Hak untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri

2) Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan dalam paham politik, serta

3) Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Meskipun persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan begitu saja.







Bagaimanapun, hal ini akan memengaruhi bahkan menghambat pencapaian tujuan GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan Nasional Indonesia di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara anggota-anggota pun terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan. Terdapatnya anggota anggota GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan, dan Gerindo yang mempunyai konflik: PII Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh. Yamin. Sementara itu, perpecahan kaum pergerakan tidak menjadi penghalang utama bagi GAPI untuk melakukan aksi- aksinya. Pada rapat tanggal 4 Juli 1939, GAPI memutuskan pendirian Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Pembentukan kongres ini merupakan pelaksanaan program GAPI.


Pada 1 September 1939, Hitler menyerbu Polandia dan mulai berkobarlah Perang Dunia II di Eropa. GAPI menekan Belanda supaya memberikan otonomi sehingga dapat dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia dalam melawan fasisme. Tentu saja Belanda tidak bereaksi. Di samping itu, GAPI melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini, diharapkan pemerintah Nederland memberi peluang untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan berhubung dengan timbulnya Perang Dunia II.

Bertalian dengan hal di atas, GAPI juga menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan Belanda, dengan harapan adanya perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat Indonesia. Hal ini untuk merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang dilangsungkan pada 19-20 September 1939 yang antara lain sebagai berikut. a. Perlunya dibentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat. Pemerintah harus bertanggung jawab kepada parlemen itu. b. Jika keputusan di atas dipenuhi, maka GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung Belanda. c. Anggota-anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam ikatan GAPI. Berparlemen merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada semua partai, baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia.

Tuntutan GAPI, yakni Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan setelah selesai perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak Mei 1940 tentu merupakan salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Nederland menjadi Exile Government di London, ini berarti semakin menjauhkan hubungan Indonesia dengan Belanda.

Pada Agustus 1940, mosi-mosi (Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho) mendapat tanggapan yang umumnya negatif dari pemerintah sehingga ditarik kembali oleh para sponsornya. Pada bulan yang sama, GAPI memulai upaya yang terakhir ketika organisasi tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni Belanda Indonesia yang berdasarkan atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dengan Volksraad akan berubah menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem pemilihan yang adil. Akan tetapi, desakan yang terus-menerus dari GAPI, Indonesia Berparlemen telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia Commisie tot bestudering van staattrechtelijke hervormingen (Panitia untuk mempelajari perubahan- perubahan tata negara). Panitia yang biasa disebut Commisie Visman karena nama ketuanya Visman ini dibentuk pada November 1940 dan laporannya ke luar tahun 1942. Partai Indonesia Raya (Parindra) Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935.


Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka. Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes.


Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas. Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan- percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.

Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah menggunakan nama “Taman Siswa” sebagai nama jalan yang menggantikan De Jonge pada tahun 1936.

Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938, anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik Volksraad.

Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang dua hari kemudian,

M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir.

Dengan demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.


Partai Indonesia Raya (Parindra)

Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka.

 

Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas.

 

Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.

 

Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah menggunakan nama “Taman Siswa” sebagai nama jalan. yang menggantikan De Jonge pada tahun 1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.

 

Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938, anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik Volksraad.


Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang dua hari kemudian, M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.

 

Taman Siswa

Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Awalnya, Taman Siswa memiliki nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu, Taman Siswa hanya memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Kemudian, Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.

Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Artinya, “guru jika di depan harus memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa menjalin kerja sama, dan di belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para siswanya”. Hingga saat ini, azas ini masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren dengan mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli Indonesia.

Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undang- undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932, yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai politik. Meski demikian, Taman Siswa mampu memberikan kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan pendidikan.

Taman Siswa juga mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini, sekolah Taman Siswa masih berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.


Muhammadiyah

Organisasi yang lahir pada periode moderat/kooperatif adalah Muhammadiyah. Keberadaan organisasi Budi Utomo telah memberikan inspirasi kepada K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi yang bersifat modern. Ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.

Salah satu tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran Islam, yaitu seharusnya Islam bersumber pada Alquran dan Al-Hadis, tindakannya adalah amar makruf nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan manajemen organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan, dan dakwah melalui media atau surat kabar. Sistem pendidikan dibangun dengan cara sendiri, menggabungkan cara tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas.


Dalam bidang kemasyarakatan, organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong-menolong sesama muslim.

Selanjutnya, organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiyah di Yogyakarta sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiyah. Nama tersebut terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad yang dikenal taat beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung eko nomi rumah tangga. Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.

Aisyiyah yang masih eksis sampai sekarang didirikan sebagai pembantu peran kaum perempuan, terutama bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri, perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran kemasyarakatan. Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama sama mempunyai kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, termasuk melalui bidang pendidikan.


Sarekat Islam (SI)

Organisasi lain yang berdiri pada periode moderat/kooperatif adalah Sarekat  Islam (Syarikat Islam). Organisasi ini merupakan pengembangan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1909 di Jakarta oleh R.M. Tirtodisuryo. Tujuan utama SDI adalah untuk membela kepentingan pedagang Indonesia dari ancaman persaingan dengan pedagang Cina. Namun, karena sering terjadi perkelahian dan kerusuhan yang dilakukan pedagang Cina dan SDI, maka pemerintah melarang SDI.


Atas anjuran H.O.S. Cokroaminoto, pada 10 September 1912, SDI diubah menjadi Sarekat Islam. Dasar organisasi Sarekat Islam adalah persatuan bangsa dengan Islam sebagai tali atau simbol persatuan. Tujun dari organisasi ini adalah kemajuan perdagangan, kemajuan hidup kerohanian, dan menggalang persatuan di antara umat Islam.


Sarekat Islam merupakan partai yang diorganisasi oleh pengusaha kecil Indonesia. Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang terkenal adalah H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Untuk mendekati atau menarik rakyat, agama Islam-lah yang dijadikan daya tariknya. Jadi, untuk bisa menjadikan Sarekat Islam suatu organisasi yang kuat, ia harus bersifat massal. Hingga tahun 1916, Sarekat Islam telah memiliki 80 cabang Sarekat Islam lokal di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota 800.000 orang.


Pada tahun 1913, Sarekat Islam menyelenggarakan kongres pertama di Surabaya. Kongres itu menetapkan keputusan sebagai berikut :


a. Sarekat Islam bukan partai politik.

b. Sarekat Islam tidak melawan Pemerintah Hindia Belanda.

c. Haji Oemar Said Cokroaminoto dipilih menjadi ketua Sarekat Islam.

d. Kota Surabaya ditetapkan menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.


Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia