Kamis, 18 Juli 2024

Perkembangan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat pada masa Sukarno

Asian Games ke-4 dan Penyelenggaraan GANEFO

Tahukah kalian bahwa olah raga merupakan salah satu alat diplomasi negara? Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin pernah menjadi penyelenggara Asian Games dan menggagas penyelenggaraan GANEFO. Pada tahun 1962, Indonesia didapuk menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games ke-4. Perhelatan ini dihadiri 1.460 atlit dari 17 negara. Infrastruktur dan sarana kegiatan dipersiapkan mulai tahun 1958. Pada 8 Februari 1960, Sukarno meresmikan pembangunan stadion utama

Senayan. Pembangunan stadion tersebut merupakan bentuk Kerjasama Indonesia dengan Uni Soviet (De Waarheid Volksdagblad voor Nederland, 1962). Saat Asian Games berlangsung, sempat terjadi permasalahan karena Indonesia tidak mengundang Taiwan dan Israel untuk menjadi peserta. Hal tersebut menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan International Olympic Committee (IOC) hingga Indonesia memilih mundur dari keanggotaan IOC. Selepas itu, Sukarno kemudian mengadakan ajang kompetisi sepak bola internasional bertajuk Soekarno Cup pada 1963 di minggu yang sama dengan konferensi Olimpiade. Penyelenggaran Soekarno Cup yang berjalan sukses membuat hubungan para pejabat Asia-Afrika semakin baik, Maladi dan Sukarno pun optimis menyelenggarakan GANEFO. Pada 10—22 November 1963, akhirnya GANEFO diadakan di Jakarta yang diikuti oleh 2700 atlet dari 51 negara yag menyimbolkan rasa solidaritas antarnegara New Emerging Forces. Ganefo membuktikan kepada IOC bahwa Indonesia berhasil menyelenggarakan pesta olahraga laiknya Olimpiade dan dapat merevolusi diplomasi olahraga.

Pembangunan Proyek Mercusuar Pada 20 Januari 1958, Indonesia menyepakati hasil pampasan perang senilai 80.308,8 juta yen atau setara 223,08 juta USD yang akan dibayarkan selama 12 tahun dalam bentuk modal, barang, dan jasa. Ini merupakan salah satu bentuk kompensasi yang dibayarkan oleh pemerintah Jepang atas 3,5 tahun penjajahan mereka di Indonesia. Salah satu proyek pengembangan komprehensif hasil pampasan perang ini dikenal dengan Proyek 3K yang mengandung unsur 3 nama sungai yaitu Karangkates, Konto, dan, Kanan. Ketiga proyek bendungan tersebut menghabiskan 28,35 juta USD. Namun, proyek ini tidak dapat diselesaikan sehingga pemerintah Jepang memberikan tambahan pinjaman dalam bentuk mata uang yen. Indonesia juga menggunakan dana pampasan perang tersebut untuk membangun hotel-hotel, di antaranya Hotel Indonesia, Hotel Bali Beach, dan Hotel Samudera Beach. Hotel Indonesia menjadi salah satu sumber devisa negara hingga 1969 karena semua tamu hotel diharuskan membayar menggunakan mata uang dolar Amerika. Proyek lain yang dikerjakan adalah Toserba Sarinah yang menjual kualitas barang-barang mewah dengan harga tinggi pada masa itu.

Begitu besarnya dana pampasan perang ini membuat pemerintah membentuk Komite Pampasan Pemerintah Indonesia antara tahun 1958—1965. Komite ini bertugas bertugas menangani dan mengelola pampasan perang dari Jepang. Akan tetapi, para anggota komite tersebut banyak yang terlibat skandal dengan pihak Jepang sehingga tidak ada transparansi terkait pembayaran dan pengeluaran.

Kebijakan Kesehatan Kesehatan menjadi aspek penting dalam satu dekade kedaulatan RI. Agar dapat mewujudkan pengobatan dan kesehatan yang bisa dijangkau masyarakat luas, dr. Johannes Leimena dan Abdoel Patah merumuskan program yang dikenal dengan Bandung Plan. Konsep Bandung Plan menyatakan bahwa pelayanan kesehatan pada aspek preventif dan kuratif tidak boleh dipisahkan, baik yang berada di rumah sakit maupun di pos-pos kesehatan. Konsep yang dipresentasikan Leimena-Patah ini kemudian diterapkan pada pendidikan kedokteran pada tahun 1952 dan mulai diintegrasikan di pusatpusat kesehatan masyarakat. Nantinya, salah satu wujud integrasi ini adalah keberadaan pos pelayanan terpadu (posyandu).

Kebijakan Pendidikan

Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Mr. Wongsonegoro dan Menteri Agama H. Wahid Hasyim memberikan perubahan dalam sistem pendidikan dengan menetapkan UU No. 4 Tahun 1950. Perubahan tersebut meliputi: • Pelajaran pendidikan agama diberikan

pada Sekolah Rendah (umum) dan Lanjutan (Kejuruan) yang dimulai pada siswa kelas 4 maksimal 2 jam per minggu. • Pada siswa kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Rakyat, pemakaian bahasa daerah digunakan sebagai pendamping bahasa Indonesia. • Penggunaan bahasa Indonesia diterapkan sejak kelas 1 Sekolah Rakyat sampai ke perguruan tinggi. • Bahasa Belanda dihapuskan dari sistem pendidikan di Indonesia. • Beberapa sekolah yang masih mengikuti sistem lama warisan Belanda diharuskan untuk mengikuti sistem baru sejak 1951. Pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan yang dikenal dengan nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini merupakan penyempurna Kurikulum 1947. Sistem Kurikulum 1952 sudah mengarah pada sistem pendidikan nasional yaitu mengintegrasikan materi pelajaran sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Kebijakan demokrasi pendidikan dan program wajib belajar 6 tahun diterapkan kepada seluruh warga negara yang sudah berumur 8 tahun. Pemerintah Indonesia saat itu sedang berusaha untuk mengurangi tingginya buta huruf di masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan masyarakat melalui jalur pendidikan di luar sekolah formal juga digalakkan melalui program kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH), Kursus Pendidikan Umum A (KPU/A setara SD), dan Kursus Pendidikan Umum B (KPU/B setara SMP). Perkembangan politik masa 1959—1967 mengalami masa sulit. Kehidupan perekonomian memburuk, terjadi inflasi hingga 600% yang mengakibatkan alokasi anggaran untuk pendidikan semakin mengecil. Kebijakan wajib belajar pun tidak dapat terlaksana dengan baik seiring dengan kegagalan bidang ekonomi dan politik

 

 

 

Perubahan dari RIS Menuju NKRI

Penggagas pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H. J. van Mook. Pembentukan RIS ini sebagai upaya Belanda untuk dapat tetap menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Pemerintahan RIS berkedudukan di Jakarta, sementara pemerintahan RI berkedudukan di Yogyakarta. Pemerintahan RIS dipimpin oleh Presiden Sukarno dan dibantu oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Sistem pemerintahan RIS adalah demokrasi parlementer dengan konstitusi negara bernama Undang-undang Republik Indonesia Serikat. Pemerintahan RI berada di dalam wilayah pemerintahan RIS, tetapi wilayah RI tetap otonom dan tidak tergantung kepada RIS.

Namun, mayoritas masyarakat Indonesia beserta tokoh-tokoh nasional menginginkan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Selain itu muncul gerakan-gerakan persatuan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menentang pembentukan negara federal, termasuk juga dari masyarakat di mayoritas negara bagian RIS.

Negara bagian Sumatera Selatan adalah yang pertama mengawali untuk bergabung dengan Pemerintah RI pada 10 Februari 1950. Selanjutnya, Negara Pasundan berkeinginan untuk ikut bergabung karena merasa kurang mampu memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Negara Pasundan akhirnya bergabung dalam RI sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan RIS No 113 tanggal 11 Maret 1950.

Pemerintah RIS tidak menentang aksi penggabungan dengan RI dan justru mengikuti kemauan Majelis Permusyawaratan. Pemerintah RIS kemudian mengeluarkan undang-undang darurat pada 7 Maret 1950 yang isinya pembubaran negara-negara bagian dan penggabungan ke dalam RI. Akhirnya sampai akhir Maret 1950, tinggal empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan R I. Kondisi tersebut membuat Natsir berinisiatif menyampaikan agar RI dan Negara-negara bagian RIS berbaur dalam NKRI. Usul yang disampaikan dalam sebuat rapat parlemen pada 3 April 1950ini kemudian dikenal dengan istilah Mosi Integral Natsir. Kepiawaiannya dalam lobi politik membuahkan hasil. Kalimantan Barat masuk ke dalam negara bagian RI melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada 22 April 1950

Jelang pertengahan 1950, RIS hanya menyisakan tiga negara yaitu Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI. Pada tanggal 3—5 Mei 1950 diadakan perundingan yang menyepakati pembentukan NKRI. Akan tetapi, pembentukan NKRI tidaklah semudah menggabungkan negara bagian RIS ke RI. Hal ini berhubungan dengan pengakuan kedaulatan dari dunia internasional karena yang diakui kedaulatannya dalam KMB adalah RIS. Solusi pemecahan persoalan ini adalah dengan mengubah konstitusi RIS yang berbentuk negara federal menjadi NKRI. Akhirnya, Presiden Sukarno mengganti RIS dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Moh. Natsir, Sang Pelopor Wacana Kembalinya NKRI

Natsir merupakan satu tokoh penting Indonesia pada tahun 1950-an. Dengan menyampaikan Mosi Integral dalam sebuah sidang parlemen pada 3 April 1950, Moh. Natsir berhasil melobi banyak fraksi agar bersepakat untuk kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya terpecah-pecah dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai tokoh yang pernah menjabat sebagai perdana menteri, Natsir dikenal sebagai tokoh yang karismatik dan sederhana. Agar dapat lebih jauh menggali tentang sejarah dan kepribadian Mohammad Natsir, kalian dapat melihat dokumentasi sejarahnya.

Peran Rakyat dalam Revolusi Nasional

Persoalan upaya mempertahankan kemerdekaan bukan hanya berada pada pundak para elite negara dan militer, melainkan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, rakyat Indonesia rela bertaruh nyawa dan bahu-membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut berbagai peran masyarakat Indonesia pada masa Revolusi Nasional.

Peran Perempuan

Pemerintah RI menyerukan para perempuan yang sebelumnya tergabung dalam Fujinkai (organisasi wanita bentukan Jepang) agar masuk dalam berbagai wadah organisasi perempuan Indonesia. Dengan demikian, para perempuan Indonesia segera dapat menyalurkan tenaganya untuk kepentingan perjuangan, terutama dalam bidang-bidang sosial. Menarik untuk dicermati, meski sebagian besar tidak turut langsung memanggul senjata dalam perlawanan, kaum perempuan seringkali berada di garis depan sebagai informan dan penyalur kebutuhan para pejuang. Di beberapa daerah, para istri dan remaja putri mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan logistik, obat-obatan, bahkan pembiayaan perang. Selama masa Revolusi, perempuan Indonesia berjuang melalui berbagai cara sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah masing-masing

Peran Medis dan Kesehatan

 Dalam situasi perang yang rentan menimbulkan korban, bidang medis dan kesehatan menjadi faktor penunjang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di Aceh, para perempuan anggota Palang Merah Indonesia membentuk satuan tugas yang selalu siaga dikirim dan diberangkatkan ke medan laga untuk menolong korban perang. Sementara itu, para perempuan di Sulawesi Utara berulang kali berjuang untuk menerobos blokade dan pertahanan Belanda untuk mencari obat-obatan yang saat itu sukar diperoleh. Peran serupa juga dilakukan oleh anggota perempuan palang merah di Bali. Mereka menjalin kontak rahasia dengan rekan di kota-kota untuk menyalurkan bantuan ke desa dan daerah gerilya. Dengan ketrampilannya, para perempuan Bali ini juga meramu berbagai tanaman obat untuk mengatasi kekurangan obat-obatan. Di Indonesia timur, para perempuan Maluku juga berperan aktif sebagai tenaga sukarela di berbagai rumah sakit sebagai tenaga perawat. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang membantu perjuangan di Jawa. Pada masa Agresi Militer Belanda, para tenaga medis dari Maluku ini tercatat bertugas memeriksa para pengungsi yang berpindah dan datang ke Yogyakarta.

Pendidikan

Meski di masa perang, pendidikan terhadap generasi penerus bangsa tetap harus dilaksanakan. Selepas kemerdekan, pelajar putri di Aceh diberian pelatihan kepanduan untuk melatih kemampuan intelijen dan perkembangan fisik, semangat, dan cinta tanah air. Saat Revolusi pecah, para perempuan di Aceh menjadi guru sukarela untuk mendidik anak-anak bangsa dan memberantas buta huruf di Sekolah Rendah. Hal serupa juga dilakukan para perempuan pejuang di Tondano dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Bangsa pada November 1945. Yayasan ini mendirikan Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan (SMRK). Sekolah ini senantiasa juga menyisipkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan secara sembunyi-sembunyi di setiap pembelajarannya.

 

Dapur Umum dan Logistik Keberlangsungan perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak akan lama apabila tidak ada asupan makanan yang memadai. Karenanya, keberadaan dapur umum yang dikelola oleh para perempuan berperan sangat penting dalam perjuangan. Tak heran, keberadaan markas para pejuang selalu diiringi dengan keberadaan dapur umum. Di Maluku, para istri dan remaja putri Barisan Pejuang Indonesia mendirikan dapur umum untuk menyediakan makanan serta tempat tinggal bagi para pejuang dan pengungsi. Para istri ini juga menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarga di saat suami mereka berperang di garis depan. Sementara itu di Aceh, selain membuat dapur umum untuk gerilyawan, para perempuan Aceh secara spontan dan sukarela menggalang dana dengan cara memberikan perhiasan dan barang berharga lainnya. Dana itu salah satunya digunakan untuk pembelian pesawat Dakora RI-001 Seulawah, pesawat pertama milik RI.

Peran Seniman dan Sastrawan

Dibanding para politisi dan militer, peran para seniman dan sastrawan memang kurang menonjol dalam catatan sejarah. Namun, peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan cukup penting dan masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Sebagai bentuk ekspresi diri, karya para seniman di masa kemerdekaan membangkitkan semangat juang dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Karya ini ada yang dituangkan dalam medium tembok dan selebaran, ada juga yang mengisi ilustrasi atau karikatur di surat kabar. Mereka menggunakan alat dan media yang sangat sederhana untuk berkarya. Namun, keterbatasan tersebut tidak menghalangi para seniman untuk menyebarkan semangat perjuangan.

Peristiwa perang kemerdekaan dan masa revolusi rupanya ikut membentuk dan mengasah karakter seniman lukis Indonesia. Seniman yang mengalami masa revolusi memiliki rekaman situasi kehidupan pada masa perjuangan fisik yang dituang melalui karya. Beberapa maestro lukis Indonesia seperti S. Sudjojono, Affandi, Dullah, dan Hendra Gunawan adalah contohnya. Di bidang seni peran, para seniman juga turut ambil bagian. Prihatini (2015) menengarai perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta menjadi titik penting perkembangan seni peran di masa revolusi. Para seniman berulang kali mengungsi bersama rakyat dan pejuang lainnya. Pengalaman ini mereka tuangkan melalui sandiwara dan seni teater sebagai bahan refleksi sekaligus hiburan bagi rakyat. Beberapa contoh cerita yang dipentaskan di antaranya “Semarang”; “Awan Berarak” disutradarai oleh Murtono; “Mutiara dari Nusa Laut” karya Usmar Ismail, Sri Murtono, dan Djayakusuma; “Kisah Pendudukan Yogya” disutradarai oleh Dr. Huyung. Salah satu seniman peran yang produktif adalah Sri Murtono dengan karyanya “Di belakang Kedok Jelita”, “Revolusi”, “Di Depan Pintu Bharatayuda”, dan “Tidurlah Anakku”. Di bidang seni musik, lagu-lagu propaganda menjadi pembakar semangat rakyat dan para pejuang. Lagu “Maju Tak Gentar” dan “SorakSorak Bergembira” diciptakan oleh Cornel Simanjuntak pada awal masa revolusi. Kedua lagu ini lahir dalam konteks pertempuran pemuda Indonesia melawan Belanda dan sekutu yang tidak seimbang dari segi

peralatan senjata. “Maju Tak Gentar” dan “Bagimu Negeri” berupaya memotivasi perjuangan pemuda Indonesia dalam membela tanah air Lagu-lagu perjuangan juga berfungsi sebagai pengingat peristiwa revolusi, misalnya lagu “Halo-Halo Bandung” karya Ismail Marzuki yang merekam peristiwa Bandung Lautan Api. Pada masa revolusi, para sastrawan ikut berjuang dengan menghasilkan karya yang mampu memperkaya pengalaman, menanamkan kesadaran, dan menumbuhkan kepekaan. Salah satu pengarang produktif di masa Revolusi adalah Pramoedya Ananta Toer. Antara tahun 1947 —1957, ia telah melahirkan enam novel dan beberapa kumpulan cerpen berlatar masa Revolusi. Beberapa di antaranya Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Keluarga Gerilya (1950), Dia yang Menyerah (1951) , dan Bukan Pasar Malam (1951). Selain Pram, ada juga Idrus yang menulis karya berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948). Buku ini merupakan kumpulan kisah-kisah dari zaman pendudukan Jepang hingga revolusi fisik di antaranya berjudul “Surabaya”, “Dari Ave Maria”, “Jalan Lain ke Roma”

Peran Pelajar dan Mahasiswa

Keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia memunculkan komitmen seluruh masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk kelompok pelajar. Pada Juli 1945, para pelajar setingkat SMP dan SMA di Surabaya pada Juli 1945 berikrar untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 25 September 1945, di Yogyakarta diselenggarakan rapat umum yang dihadiri para pemudadan peajar dari Jawa dan Madura. Pada September 1945, para pelajar Magelang membentuk Gabungan Sekolah Menengah yang kemudian melebur dengan Ikatan Pelajar Indonesia Kedu. Pembentukan perkumpulan-perkumpulan pelajar di beberapa wilayah di Indonesia tersebut menunjukkan tumbuhnya rasa patriotisme pelajar Indonesia. Semangat inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).

Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, para pengurus IPI juga ikut mengungsi. Di ibu kota yag baru ini, para anggota IPI menginginkan. adanya pasukan tempur sendiri dari kelompok pelajar. Oleh karena itu, IPI membentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP) yang merupakan cabang di bagian pertahanan. MPP memiliki tiga resimen yang tersebar di Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pada 17 Juli 1946, di Lapangan Pingit Yogyakarta, Mayor Jenderal dr. Moestopo resmi melantik dan mengukuhkan pasukan pelajar ini sebagai Tentara Pelajar. Di samping latihan rutin baris-berbaris dan bela negara, Tentara Pelajar ini juga aktif menjalankan perannya sebagai pelajar. Ketika keadaan genting dan tugas negara memanggil, dengan segera para pasukan intelektual ini berubah peran menjadi tentara pelajar. Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Tentara Pelajar Indonesia masuk ke dalam jajaran Brigade 17 TNI di bawah kendali Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Keberadaan Tentara Pelajar memang secara resmi dibubarkan pada awal 1951. Namun, peran aktif pelajar sebagai generasi penerus dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan senantiasa tak lekang oleh zaman.

 

Pembentukan Republik Indonesia Serikat

Isi perjanjian KMB diterima KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Kemudian, pada 14Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara bagian dan daerah untuk membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa

UUD 1945 menjadi konstitusi RIS. Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI,pembentukan RIS sangat merugikan, tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima.

Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan perdana menteri (pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai pemerintah. Kemudian,dibntuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan DPR.Senat merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing diwakili dua orang,sedangkan DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakil wakil seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu:a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa Barat). 4)Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian.

Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden RIS dan dilantik pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta dilantik. Dengan terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS. Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negara negara federasi. Setelah Sukarno diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami kekosongan jabatan. Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assat, ditunjuk sebagai pejabat presiden RI dan dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah inidiambil untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu RIS bubar, RI tetap ada.

Ketidakseimbangan Relasi Pusat dan Daerah serta Ancaman Disintegrasi

Di gambar itu terlihat barisan laskar-laskar perjuangan pada masa revolusi. Di antara pemuda yang membawa bendera dan bambu runcing, ada yang memakai sepatu dan bertelanjang kaki. Meski demikian, tekad mereka untuk ikut dalam perjuangan mempertahankan bangsa dari penjajah patut untuk ditiru. Negara Indonesia yang telah memperoleh kedaulatan dan bebas dari bangsa asing masih harus berjuang untuk mempertahankan dari ancaman disintegrasi yang berasal dari kalangan pejuang sebelumnya. Berikut ini adalah sejumlah gerakan daerah yang mengancam NKRI sepanjang tahun 1950—1960-an.

Daarul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Gerakan DI/TII bermula dari ketidakpuasan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo dengan hasil Perjanjian Renville. Kartosuwiryo merupakan pemimpin Sabilillah dan Hizbullah yang membantu Indonesia dalam perang mempertahankan kemerdekaan (Van Dijk, 1983: 63). Ia berpendapat, perjanjian yang dilaksanakan pada 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948 itu merugikan Indonesia karena harus mengakui kekuasaan Belanda atas Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatra yang sebenarnya adalah wilayah Negara Republik Indonesia (Santosa: 2006, 85). Saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948, S.M. Kartosuwiryo mengira bahwa RI sudah hancur dan gagal mempertahankan kemerdekaan. Ia kemudian memanfaatkan situasi pasca-Agresi Militer II dengan menginisiasi DI/TII sambil terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Karena kondisi yang kacau dan buruknya jaringan komunikasi, ia tidak mengetahui mengenai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) maupun TNI yang ternyata masih kuat dan melanjutkan gerilya. Dengan demikian, saat TNI dari Divisi Siliwangi melakukan long march di awal 1949 untuk kembali ke Jawa Barat, mereka berhadapan dengan pihak DI/TII. Kartosuwiryo bahkan secara resmi memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Aksi pemberontakan DI/TII ini merugikan pihak RI yang saat itu juga berjuang menghadapi Belanda. Gerakan ini juga bertahan cukup lama bahkan hingga masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Untuk memberantas DI/TII, TNI melancarkan operasi Pagar Betis di sekitar Gunung Geber, Jawa Barat. Setelah pengejaran panjang, akhirnya pada 4 Juni 1962 S.M. Kartosuwiryo ditangkap. Beberapa pemimpin daerah juga memproklamasikan diri menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Di Jawa Tengah tercatat nama Amir Fatah yang juga merupakan komandan laskar Hizbullah. Pada 21 September 1953, Daud Beureuh, mantan gubernur Aceh, memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Aksi itu dipicu oleh kekecewaannya atas penurunan status Aceh yang semula merupakan Daerah Istimewa menjadi Daerah Karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Untuk mengatasi pemberontakan di Aceh, TNI melakukan operasi militer dan musyawarah dengan rakyat Aceh. Setelah diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada 17—18 Desember 1962, kedua belah pihak akhirnya berdamai. Sementara itu di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Ia berkeinginan menjadi pemimpin APRIS. Ketika RIS dihapuskan dan kembali menjadi NKRI, ia menyatakan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pada 1952. Di wilayah Kalimantan Selatan, Ibnu Hajar juga ikut bergabung dengan Negara Islam Indonesia dan ditunjuk sebagai panglima tertinggi Tentara Islam Indonesia. Pada 1965, pemberontakan Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar berhasil diredam oleh TNI.

 

PRRI/Permesta

PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. PRRI dibentuk pada 15 Februari 1958 di Padang Sumatera Barat, sedangkan Permesta berdiri pada 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Permesta kemudian berpindah ke Manado, Sulawesi Utara. PRRI/Permesta merupakan organisasi yang memprotes kebijakan pemerintah pusat atas berbagai ketidakadilan yang dialami oleh daerahdaerah di luar Pulau Jawa. Dalam aksinya, Permesta mencetuskan proklamasi lengkap dengan programnya yang dikeluarkan di Manado 2 dan 4 Maret 1957 (Harvey, 1989: 169).

Buat infografik yang memuat informasi salah satu peristiwa ketidakseimbangan relasi pusat dan daerah berikut ini. 1. Gerakan DI/TII di Jawa Barat 2. Gerakan DI/TII di Aceh 3. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah 4. Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan 5. Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan 6. Peristiwa PRRI/PERMESTA 7. Peristiwa Somalangu Petunjuk Kerja 1. Tugas dikerjakan secara kelompok. 2. Diskusikan aspek-aspek penting untuk dimuat dalam infografik tersebut 3. Kalian juga dapat mencari petunjuk pada laman pencarian digital atau informasi pada situs web perguruan tinggi atau situs lain yang sesuai dengan materi. 4. Silakan menggunakan aplikasi pembuat poster daring ataupun program desain lain. Apabila tidak memungkinkan mengakses aplikasi atau program desain, kamu bisa menggambarnya dengan kreasi kalian sendiri.

Ketersebaran Kekuatan dan Identitas Nasional Baru

Tahukah kalian kapan Indonesia melaksanakan pemilu pertama? Partai mana yang meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif pertama? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut kalian perlu melihat peta kekuatan dan kekuasaan politik yang ada sepanjang tahun 1950—1960- an. Pada masa Demokrasi Liberal hingga Demokrasi Terpimpin terdapat banyak kelompok yang memiliki massa, baik yang berbasis ideologi politik maupun agama. Kekuatan kelompok tersebut memunculkan warna yang beragam pada identitas nasional dan berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Beberapa di antaranya akan dibahas pada subbab berikut.

Gerakan Perempuan

Gerakan Perempuan pada tahun 1950—1960 merupakan salah satu periode pergerakan paling progresif setelah tahun 1928. Pada periode ini banyak organisasi perempuan yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan organisasi massa yang besar. Sebagai contoh Aisyiah dari Muhammadiyah, Muslimat dari Masyumi, Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) dari NU, Perwari, dan juga Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis). Gerwis merupakan gabungan dari ratusan aktivis dan berbagai organisasi perempuan, misalnya Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar, Isteri Sedar, Gerakan Wanita Indonesia, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia. Pada kongres pertama tahun 1951, Gerwis berubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun 1954 PKI memanfaatkan organisasi ini untuk menggalang suara pada Pemilu 1955.

Selain terkait dengan basis massa yang besar, terdapat isu krusial yang diangkat pada tahun 1950an di antaranya adalah UU Perkawinan dan isu poligami. Kalangan organisasi maupun aktivis perempuan, menilai perlunya dibentuk komisi khusus yang merancang hukum perkawinan yang berpihak pada perempuan. Untuk itu dibentuk Komisi NTR (Nikah, Talak, Rujuk). Polemik pembuatan UU Perkawinan masih bergulir sampai dengan berakhirnya pemerintahan Sukarno dan akhirnya dapat disahkan pada tahun 1974.

 

Pemilihan Umum Pertama

 Sebagai negara yang baru melewati masa kemerdekaannya, Indonesia melaksanakan pemilihan umum pertama kali pada tahun 1955. Apakah kalian pernah membayangkan bagaimana awal mula dan jalannya Pemilu pertama di Indonesia?

Pada masa Demokrasi Liberal, perubahan kabinet terus-menerus terjadi. Ini tentu saja menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan umum ini bertujuan menyederhanakan partai politik dan melaksanakan prinsip demokrasi. Pada 29 September 1955, pemilu untuk DPR diadakan dengan lebih dari 39 juta pemilih di 16 daerah pemilihan (Kartasasmita, 1984). Saat itu, Pemilu 1955 merupakan peristiwa terbesar kedua setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sistem pemilihan umum yang digunakan adalah sistem perwakilan berimbang (proportional representation). Pada Pemilu 1955 terdapat 52 kandidat yang terdiri dari partai politik dan perseorangan. Namun, yang berhasil memperoleh kursi hanya 27 partai dan 1 calon perseorangan yaitu R. Soedjono Prawirosoedarso. Empat partai politik yang berhasil memperoleh kursi DPR di antaranya Partai Nasional Indonesia (57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi).

Berikut ini adalah hasil perolehan kursi pada setiap fraksi: • Masyumi : 60 anggota • Partai Nasional Indonesia (PNI) : 58 anggota • Nahdlatul Ulama (NU) : 47 anggota • Partai Komunis Indonesia (PKI) : 32 anggota Hasil pemilu 1955 memperlihatkan sirkulasi elite kekuasaan yang berbeda dan polarisasi yang cukup tajam antara partai-partai berbasis agama dan non-agama. Ketidakstabilan politik pasca-Pemilu 1955 semakin meningkat hingga Kabinet Ali runtuh dan mengembalikan mandat kepada presiden. Maraknya pergolakan yang terjadi di daerah dan perdebatan dalam konstituante yang berlarut-larut membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk Kembali kepada UUD 1945. Melalui dekrit itu, Presiden Sukarno juga membubarkan Konstituante. Sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, sejarah Indonesia memasuki babak baru yaitu Demokrasi Terpimpin.

Nasionalisme, Agama, dan Komunis (Nasakom)

 Apakah kalian pernah mendengar istilah Nasakom? Istilah ini diusulkan oleh Sukarno sebagai gambaran tiga kekuatan revolusioner yang melandasi nasionalisme Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. Lahirnya Nasakom sebenarnya jauh sebelum era Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada tahun 1926 saat Sukarno menulis sebuah artikel tentang persatuan tiga konsep gerakan untuk mengusir penjajah yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dalam Suluh Indonesia Muda, 1926. (Soekarno, 1964) Tiga kekuatan revolusioner sebelum kemerdekaan itu direpresentasikan oleh tiga kelompok. Pertama, kelompok Nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP). Kedua, golongan umat Islam yang diwakili dalam Sarekat Islam (SI). Ketiga, golongan komunis yang diwakili oleh Partai Komunis

Indonesia (PKI). Konsep Nasakom ini diterapkan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Namun, langkah tersebut tidak serta-merta dapat diterima oleh rakyat dan tokoh-tokoh politik. Hatta, sebagai wakil presiden menentang konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom sehingga dua sosok proklamator itu akhirnya berpisah jalan. Dengan pecahnya dwitunggal, manuver politik Nasakom semakin digencarkan oleh Sukarno. Kampanye Nasakom dibawa oleh Presiden Sukarno ke forum internasional. Dalam sidang PBB, 30 September 1960, di New York, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “To Build The World a New”. Sukarno membentuk Nasakom untuk menggantikan sistem demokrasi parlementer yang dianggap tidak bisa menyejahterakan rakyat. Bagi Sukarno, demokrasi parlementer melindungi sistem kapitalisme yang lebih mengedepankan kaum borjuis (Suleman, 2010). Ideologi Nasakom pun runtuh saat PKI melakukan Gerakan 30 September 1965

Kemelut Pergantian Kekuasaan Orde Lama Ke Orde Baru

Dalam sejarah Indonesia terdapat peristiwa yang hingga kini masih memunculkan kontroversi. Salah satunya, pembahasan peristiwa pada malam 30 September 1965 yang dalam narasi sejarah resmi sering disebutsebagai peristiwa G30S/PKI. Bagi masyarakat luas, peristiwa ini masih dinilai tabu dan sensitif. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul terkait seputar peristiwa malam berdarah dan efek domino yang meliputinya. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno menetapkan dan menerapkan konsep Nasakom dalam kepemimpinannya. Namun, dalam perkembangannya, Sukarno dipersepsikan menjadi sangat dekat dengan kubu komunis. Hal ini terlihat pada keberpihakan Sukarno ketika PKI terlibat perseteruan dengan kabinet dan tentara. Selain itu, pada Agustus 1960, pemerintah membubarkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi yang merupakan pesaing utama PKI. Partai NU dan PNI juga telah dilumpuhkan pengaruhnya (Feith, 1998).

Persoalan yang lebih kompleks terjadi didaerah akibat program PKI di bidang agraria. PKI mengadakan aksi pengambilan paksa tanah dari orang-orang yang disebut “Tujuh Setan Desa”. Mereka terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrasi desa, pejabat desa jahat, dan bandit desa (Tornquist, 2011). Hingga saat ini terdapat banyak perdebatan mengenai dalang dari Gerakan 30 September 1945. Tahukah kalian bahwa terdapat beberapa teori mengenai peristiwa tersebut? Untuk menjawab mengenai kemelut seputar pergantian kekuasaan, mari simak pembahasan berikut. Teori paling umum tentang dalang peristiwa G30S adalah PKI. Hal ini dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh dalam bukunya Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/ PKI di Indonesia. Keberadaan film besutan Arifin C. Noer berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI makin memperkuat argumen buku ini. Pada masa Orde Baru, film tersebut selalu ditayangkan di televisi setiap malam 30 September. Tulisan karya Ben Anderson, dkk. berjudul Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, menyampaikan bahwa peristiwa G30S adalah peristiwa yang berasal dari persoalan di kalangan Angkatan Darat sendiri. Teori selanjutnya datang dari Geoffrey Robinson dalam bukunya The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66 yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasaIndonesia dengan judul Musim Penjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966. Menurut amatan Robinson, selepas peristiwa G30S PKI terjadi pemenjaraan dan pembunuhan massal sepanjang periode 1965-1966. Dalam tesisnya, ia menambahkan keterlibatan pihak internasional yang memberikan bantuan ekonomi, militer, dan logistik untuk melenyapkan paham komunis di Indonesia. Selain berbagai pendapat di atas, masih ada pula beberapa teori lain. Ingatkah kalian dengan materi pelajaran kelas X? Dalam sejarah, kebenaran bersifat subyektif karena bergantung pada kepentingan dan sudut pandang penulisnya. Bagaimanakan kita harus menyikapi berbagai teori dan pandangan yang beragam ini? Ada baiknya kita kembali pada salah satu langkah penting dalam penelitian sejarah yaitu kritik sumber. Berbagai informasi yang tersedia harus disikapi secara kritis, serta dibandingkan satu sama lain.

Terlepas dari berbagai teori yang berkembang tentang dalang di balik gugurnya para pahlawan revolusi, peristiwa tersebut membawa perubahan besar dalam sejarah Indonesia. Sedikit demi sedikit kekuasaan Presiden Sukarno dikurangi hingga habis sama sekali. PKI dinyatakan oleh penguasa de facto saat itu sebagai pelaku di balik Gerakan 30 September 1965. Akibatnya, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang melalui TAP MPRS No XXV/MPRS/1966. Ketetapan ini juga melarang penyebaran ajaran komunisme, marxisme, danleninisme di Indonesia. Selanjutnya, anggota PKI dan berbagai organisasi yang dianggap terkait dengan kelompok komunis mengalami diskriminasi dan penindasan karena dianggap turut mengetahui dan bertanggung jawab atas peristiwa pada malam 30 September 1965. Dengan demikian, peristiwa ini membawa efek domino yang sangat besar dalam sejarah Indonesia. Apa yang bisa kalian lakukan agar periode kelam dalam sejarah Indonesia seperti ini tidak terulang kembali?

 

Indonesia di Tengah Konstelasi Perang Dingin

Tahukah kalian bahwa Perang Dunia II membawa dampak yang besar dalam sejarah global? Meskipun tidak semua negara di dunia terlibat secara langsung dalam perang ini, efeknya sangat luar biasa dalam perubahan tatanan politik dan ekonomi global. Bahkan, dampaknya bisa kita rasakan sampai sekarang. Salah satunya adalah kemerdekaan bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia, terutama di Asia dan Afrika. Dapatkah kalian menyebutkan negara mana saja yang memperoleh kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia II? Mengapa banyak negara yang merdeka pada periode ini?

Salah satu perkembangan penting dalam politik internasional pada dekade 1940-an adalah adanya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) dan Piagam PBB yang menyebutkan tentang hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib dan memerintah dirinya sendiri. Kedua dokumen bersejarah ini kemudian menjadi sebagai salah satu rujukan berbagai bangsa yang masih dijajah untuk menuntut kemerdekaannya. Meskipun demikian, kalian perlu memahami bahwa perjuangan berbagai bangsa yang terjajah untuk menuntut kemerdekaannya sudah terjadi jauh sebelum kedua perjanjian internasional itu ditandatangani. Piagam Atlantik maupun Piagam PBB menjadi semacam katalis yang mempercepat gelombang kemerdekaan negara-negara terjajah. Perkembangan penting lainnya setelah berakhirnya Perang Dunia II adalah munculnya dua kekuatan besar yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki ideologi dan kepentingan yang berbeda dan saling berebut pengaruh. Amerika Serikat dengan ideologi liberalisme, sementara Uni Soviet dengan ideologi komunisme. Walaupun terjadi ketegangan dan persaingan teknologi militer, perang fisik antara kedua negara ini tidak sampai terjadi secara langsung. Kedua negara ini berusaha meluaskan pengaruhnya ke negara-negara di Eropa maupun berbagai benua lainnya. Salah satu caranya adalah melalui pemberian bantuan ekonomi dan militer sehingga negara penerima bantuan mau berpihak. Sebagai contoh, Amerika Serikat memberikan bantuan pemulihan ekonomi yang diberi nama Marshall Plan kepada 17 negara di Eropa Barat dan Selatan sejak April 1948 hingga Desember 1951. Amerika Serikat takut jika negara-negara itu tidak diberikan bantuan ekonomi pasca-Perang Dunia II, akan ada banyak pengangguran dan kemiskinan yang dapat menjadi lahan subur bagi perkembangan komunisme. Sebagai tandingan dari Marshall Plan, pada saat yang hampir bersamaan Uni Soviet meluncurkan Molotov Plan yang juga memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara di kawasan Eropa Timur.

Salah satu pengaruh paling awal yang dirasakan oleh Indonesia adalah perubahan sikap Amerika Serikat terhadap perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Sejak pemerintah Indonesia menunjukkan keberhasilannya memberantas pemberontakan kelompok komunis pada tahun 1948, Amerika Serikat ikut memberikan dukungan kepada Republik Indonesia, misalnya dengan mengancam menghentikan Marshall Plan kepada Belanda jika negara itu tidak mau berunding dan mencari penyelesaian konflik secara damai dengan Indonesia. Perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin tajam sehingga saat itu ada dua kekuatan politik besar di dunia yang tergabung dalam Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat, sementara Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet. Negara-negara mana sajakah yang termasuk dalam Blok Barat dan Blok Timur? Apakah semua negara di dunia pasti memihak salah satu di antara kedua blok tersebut? Perhatikanlah peta politik dunia pada tahun 1953 berikut ini! Kalian dapat melihat bahwa ternyata tidak semua negara pada saat itu memihak pada salah satu blok, misalnya saja Indonesia, India, dan Mesir. Dalam peta ini kalian juga dapat melihat bahwa pada saat itu beberapa negara di Asia dan Afrika ternyata masih menjadi jajahan atau koloni negara-negara Barat.

Situasi politik dunia inilah yang menjadi salah satu latar belakang peristiwa Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Negara-negara di Asia dan Afrika menyadari tentang kesamaan nasib mereka setelah berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu, banyak negara-negara di Asia dan Afrika yang belum merdeka dan ingin memperjuangkan kemerdekaannya. Solidaritas Asia-Afrika ini kemudian mendorong 29 negara untuk mengikuti KAA dan bersepakat untuk melakukan kerja sama di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Selain itu, negara-negara yang terlibat dalam KAA juga saling mendukung dalam perjuangan melawan imperialisme dan menjunjung hak asasi manusia. Mereka juga bertekad untuk turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia yang saat itu sedang dalam suasana Perang Dingin. Semua hal ini terangkum dalam salah satu keputusan penting KAA yang dikenal sebagai Dasa Sila Bandung.

Dalam konteks sejarah dunia, KAA juga melahirkan “Semangat Bandung” yang menurut Darwis Khudori (2018) sering dikaitkan dengan kemerdekaan, solidaritas, dan anti kolonialisme. Semangat ini kemudian mendorong terjadinya berbagai peristiwa lainnya, misalnya Konferensi Mahasiswa Asia Afrika di Bandung pada 1956, Konferensi Penulis Asia Afrika (1958-1979), Konferensi Wanita Asia Afrika di Kolombo pada 1958, dan sebagainya. KAA juga menginspirasi lahirnya Gerakan Non-Blok (GNB) yang berdiri pada 1961 di Beograd, Yugoslavia. Indonesia merupakan salah satu negara pelopor lahirnya GNB. Secara umum, GNB ingin tetap netral dan tidak memihak salah satu blok dalam Perang Dingin.

Selasa, 16 Juli 2024

Pembentukan Republik Indonesia Serikat

Isi perjanjian KMB diterima KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Kemudian, pada 14Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara bagian dan daerah untuk membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa

UUD 1945 menjadi konstitusi RIS. Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI,pembentukan RIS sangat merugikan, tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima.

Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan perdana menteri (pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai pemerintah. Kemudian,dibntuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan DPR.Senat merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing diwakili dua orang,sedangkan DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakil wakil seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu:a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa Barat). 4)Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian.

Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden RIS dan dilantik pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta dilantik. Dengan terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS. Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negara negara federasi. Setelah Sukarno diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami kekosongan jabatan. Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assat, ditunjuk sebagai pejabat presiden RI dan dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah inidiambil untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu RIS bubar, RI tetap ada. 

Konferensi Meja Bundar (KMB)

 Walaupun perjanjian Roem-Royen dapat mengembalikan para pemimpin dari pengasingan, kembalinya pemerintahan darurat dari Sumatra dan Panglima Besar Sudirman sudah kembali berkumpul di Yogyakata, tetapi masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda belum semuanya tuntas. Untuk itulah perlu dieselenggarakan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah di antara dua negara itu.Oleh karena itu, pada 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Indonesia diwakili oleh Drs. Moh. Hatta (sebagai ketua),Mr.Moh. Roem, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Ir. Juanda, Kolonel T.B.Simatupang,Mr.Suyono Hadinoto,Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Dr. J. Leimena,dan Mr. Abdul Karim Pringodigdo. Sementara dari BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg)adalah Sultan Pontianak Hamid II. Delegasi dari Belanda diketuai Mr. Van Maarseveen,sedangkan UNCI oleh Chritcjley.

Tujuan diadakan KMB adalah 1) menyelesaikan sengketa antara Indonesia dengan Belanda dan 2) untuk mencapai kesepakatan antara para peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada negara Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Peranjian Renville. Masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda yang sulit untuk dipecahkan dalam KMB adalah sebagai berikut. a. Soal Uni Indonesia-Belanda. Pihak Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi permanen. Sedangkan Belanda menghendaki ada ikatan secara permanen dengan bentuk kerja sama yang lebih luas. b.Masalah utang Hindia Belanda.Pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sedangkan pihak Belanda menghendaki agar Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan dan biaya perang kolonial melawan TNL.

Setelah melalui perdebatan yang keras, pada 2 November 1949, KMB dapat diakhiri.Hasil-hasil keputusannya antara lain sebagai berikut. a. Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat - RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian yang pernah dibentuk Belanda. b.Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian setelah pengakuan kedaulatan.c.Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung, d. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang bersifat lebih longgar berdasarkan kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia-Belanda ini disepakati oleh Ratu Belanda. e. RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan. f. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.Beberapa klausul keputusan itu merugikan Indonesia, misalnya utang-utang Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3 miliar gulden. Utang itu antara lain untuk pembelian senjata sebagai alat membunuh TNI dan rakyat serta menghancurkan infrastruktur yang ada di Indonesia, tetapi yang harus membayar Indonesia sendiri.

Klausul yang merugikan Indonesia lainnya adalah soal penundaan penyelesaian Irian Barat yang merupakan akal- Belanda agar tetap menguasai wilayah Indonesia.Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu waktu yang berliku-liku dan panjang. Walaupun ada beberapa klausul yang merugikan, tetapi Indonesia menerima klausul itu karena KMB memberi kesempatan kepada Indonesia untuk membangun negeri sendiri.

. Konferensi Antar Indonesia

Belanda tidak berhasil membentuk negara-negara bagian dari suatu negara federal BFO(Bijeenkomst voor Federal Overleg). Namun, di antara pemimpin BFO banyak yang sadar dan melakukan pendekatan untuk bersatu kembali dalam upaya pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Mereka sadar bila ternyata hanya dijadikan alat dan boneka bagi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, perlu dibentuk semacam front untuk menghadapi Belanda.

Kabinet Hatta melakukan perjuangan diplomasi, yaitu masalah internal terlebih dahulu. Hatta beberapa kali mengadakan Konferensi Antar-Indonesia untuk menghadapi usaha Van Mook dengan negara bonekanya. Ternyata, hasil Konferensi Antar-Indonesia itu berhasil dengan baik. Walaupun untuk sementara pihak RI menyetujui terbentuknya negara RIS, tetapi bukan berarti pemerintah RIS tunduk kepada pemerintah Belanda.

Pada bulan Juli dan Agustus 1949 diadakan Konferensi Antar Indonesia. Dalam konferensi itu diperlihatkan bahwa politik devide et impera Belanda untuk memisahkan daerah-daerah di luar wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil Konferensi Antar -Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta itu antara lain sebagai berikut. a). Negara Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme. b). RIS akan dikepalai oleh seorang presiden dengan dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. c). RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun Belanda. d). Angkatan perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional dan presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Darat.e). Pembentukan angkatan perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.

Kesepakatan ini mempunyai arti penting karena akan dijadikan bekal dalam menghadapi perundingan-perundingan selanjutnya dengan Belanda. Pada 1 Agustus 1949, Indonesia dan Belanda sepakat menghentikan tembak-menembak. Kesepakatan itu berlaku efektif mulai 11 Agustus 1949 untuk seluruh Jawa, sedangkan untuk wilayah Sumatra dilaksanakan pada 15 Agustus 1949. Keberhasilan dari kesepakatan-kesepakatan inilah yang memungkinkan terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,Belanda dari bulan Agustus sampai November 1949.

N.Konferensi Meja Bundar (KMB)

Walaupun perjanjian Roem-Royen dapat mengembalikan para pemimpin dari pengasingan, kembalinya pemerintahan darurat dari Sumatra dan Panglima Besar Sudirman sudah kembali berkumpul di Yogyakata, tetapi masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda belum semuanya tuntas. Untuk itulah perlu dieselenggarakan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah di antara dua negara itu.Oleh karena itu, pada 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan Konferensi

Meja Bundar di Den Haag. Indonesia diwakili oleh Drs. Moh. Hatta (sebagai ketua),Mr.Moh. Roem, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Ir. Juanda, Kolonel T.B.Simatupang,Mr.Suyono Hadinoto,Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Dr. J. Leimena,dan Mr. Abdul Karim Pringodigdo. Sementara dari BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg)adalah Sultan Pontianak Hamid II. Delegasi dari Belanda diketuai Mr. Van Maarseveen,sedangkan UNCI oleh Chritcjley.

Tujuan diadakan KMB adalah 1) menyelesaikan sengketa antara Indonesia dengan Belanda dan 2) untuk mencapai kesepakatan antara para peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada negara Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Peranjian Renville. Masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda yang sulit untuk dipecahkan dalam KMB adalah sebagai berikut. a. Soal Uni Indonesia-Belanda. Pihak Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi permanen. Sedangkan Belanda menghendaki ada ikatan secara permanen dengan bentuk kerja sama yang lebih luas. b.Masalah utang Hindia Belanda.Pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sedangkan pihak Belanda menghendaki agar Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan dan biaya perang kolonial melawan TNL.

Setelah melalui perdebatan yang keras, pada 2 November 1949, KMB dapat diakhiri.Hasil-hasil keputusannya antara lain sebagai berikut. a. Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat - RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian yang pernah dibentuk Belanda. b.Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian setelah pengakuan kedaulatan.c.Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung, d. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang bersifat lebih longgar berdasarkan kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia-Belanda ini disepakati oleh Ratu Belanda. e. RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan. f. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.Beberapa klausul keputusan itu merugikan Indonesia, misalnya utang-utang Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3 miliar gulden. Utang itu antara lain untuk pembelian senjata sebagai alat membunuh TNI dan rakyat serta menghancurkan infrastruktur yang ada di Indonesia, tetapi yang harus membayar Indonesia sendiri.

Klausul yang merugikan Indonesia lainnya adalah soal penundaan penyelesaian Irian Barat yang merupakan akal- Belanda agar tetap menguasai wilayah Indonesia.Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu waktu yang berliku-liku dan panjang. Walaupun ada beberapa klausul yang merugikan, tetapi Indonesia menerima klausul itu karena KMB memberi kesempatan kepada Indonesia untuk membangun negeri sendiri.


Peristiwa Yogya KembalI

Sebagai konsekuensi atas perjanjian Roem-Royen pada 18 Juni 1949, Menteri Koordinator Keamanan Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan perintah kepada PDRI untuk menghentikan tembak-menembak. Ini dimaksudkan agar daerah Yogyakarta disiapkan untuk mengosongkan tentara Belanda. Pada 29 Juni 1949, pasukan Belanda berangsur-angsur meninggalkan Yogyakarta. Begitu juga pasukan TNI berangsur-angsur masuk ke Kota Yogyakarta. Peristiwa 248 keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Yogya Kembali.

Pada 6 Juli 1949, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta bertolak dari Pangkalpinang (pengasingan) menuju Yogyakarta disertai oleh pemimpin-pemimpin Republik yang diasingkan di Bangka. Ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta, yakni: a). Kelompok pimpinan Republik Indonesia yang diasingkan di Bangka. b). Kelompok PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Parwiranegara. c). Kelompok angkatan perang yang melakukan gerilya pimpinan Jenderal Sudirman.

Setibanya di Gedung Negara,Sukarno memberikan sambutan, "... Kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta adalah nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan. Dua faktor utama yang memungkinkan kembalinya pemerintahan RI ke Yogya adalah pertama, kekuatan dan keuletan rakyat, kedua bantuan dunia internasional." Dengan demikian menjadi kenyataan bahwa pemerintahan RI telah kembali. Wakil-wakil dari UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) turut serta menerima kedatangan pemimpin-pemimpin RI di Yogyakarta. Sementara itu, wakil ketua BFO (negara-negara bagian)menemui presiden dan wakil presiden untuk membicarakan rencana Konferensi Antar-Indonesia dan sekaligus menyampaikan undangan untuk hadir dalam konferensi itu.

Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba di ibu kota RI Yogyakarta. Sudirman datang ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta dengan pasukannya setelah memimpin gerilya. Sudirman dijemput Letkol. Suharto di bagian selatan kota Yogyakarta. Sudirman dipikul dengan tandu karena menderita sakit paru-paru dan sukar untuk berjalan.

Tandu diletakkan pelan-pelan dan keluarlah Sudirman dengan pelan tetapi berdiri tegak walaupun berjalan dibantu tongkat. Panglima Besar menggunakan pakaian Jawa,baju lurik, kain kehitam-hitaman, ikat kepala wulung, serta berjas panjang dan terselip keris pusaka di bagian muka sabuk. Setibanya di Alun-alun Utara, Sudirman melakukan parade dan disambut Sukarno dengan hangat. Keduanya berpelukan erat sebagai tanda kerinduan  masing-masing. Ketika melakukan parade, para komandan satu per satu mendapat tepukan pada bahu dari panglima besar dan para komandan itu tidak dapat menahan perasaannya melihat wajah panglimanya dan menitikkan air mata karena haru.

Selesai melakukan parade, Sudirman bersalaman dengan Syafruddin Prawiranegara yang berpakaian hitam dan memakai peci hitam yang baru tiba pada hari itu,Minggu, 10 Juli 1949. Lengkaplah sudah semua pimpinan negara di Yogyakarta, baik yang dari Bangka, dari Pemerintah Darurat RI di Sumatera, maupun Pimpinan Angkatan

Perang. Jalan yang akan ditempuh kini dapat dibicarakan bersama. Strategi perang Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai "Perang Gerilya". Strategi perang ini kemudian ditulis dalam sebuah buku oleh A.H. Nasution dengan judul Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang Akan Datang.Ternyata buku ini dijadikan acuan atau panduan tentara Vietnam di bawah pimpinan Jenderal Nguyen Giap dan berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Hingga kini, buku A.H. Nasution tersebut menjadi bacaan wajib bagi Taruna Akademi Militer Amerika.

Perjanjian Roem Royen

Serangan 1 Maret 1949 yang dilancarkan TNI ternyata telah membuka mata dunia bahwa Indonesia masih ada dan propaganda yang selama ini diberitakan Belanda ternyata tidak benar. Walaupun didesak oleh dunia internasional, Belanda masih saja tidak menaati resolusi DK PBB tanggal 24 Januari 1949 (Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI dan pemimpin politik yang ditawan Belanda). Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas, jika Belanda tetap membandel, maka bantuan ekonomi akan dihentikan. Dengan adanya ancaman seperti itu, akhirnya Belanda melunak.

Tanggal 14 April 1949, atas inisiasi komisi PBB, diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Mrele Cochran, anggota komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap menuntut tidak melakukan perundingan jika tidak ada kesepakatan pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Sebaliknya,Belanda menuntut agar Indonesia menyetujui tentang perintah penghentian perang gerilya yang dilakukan TNI. Perundingan menjadi sangat alot sehingga Amerika mendesak Indonesia agar melanjutkan perundingan. Jika tetap pada pendirian, maka Amerika tidak memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Akhirnya, perundingan dilanjutkan pada 1Mei 1949 dan 7 Mei 1949 dengan menghasilkan kesepakatan Roem-Royen yang isinya sebagai berikut.

1.       Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat tanpa syarat.

2.       Pihak Belanda menyetujui adanya pengembalian RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.Belanda juga tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948 serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.

Kemudian, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatra memerintahkan Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari pihak Belanda. Setelah pemerintahan kembali ke Yogyakarta, pada 13 Juli 1949diselenggarakan Sidang Kabinet RI yang pertama. Dalam sidang itu, Syafruddin

Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Moh. Hatta. Sidang itu juga memutuskan untuk mengangkat Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan merangkap ketua koordinator pertahanan.

Serangan 1 Maret 1949

Setelah para pemimpin bangsa ditangkap dan Jenderal Sudirman menyingkir ke hutan dan desa untuk perang gerilya 100 persen, Belanda mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia tinggal nama. Republik Indonesia sudah tidak ada,yang ada hanya para pengacau keamanan. Sebagai reaksi, Sultan Hamengkubuwono IX ingin melakukan Counter Opinion agar aktivitas Republik Indonesia dapat didengar oleh Dewan Keamanan PBB yang akan bersidang pada 1 Maret 1949. Informasi bahwa DK PBB akan bersidang didengar dari siaran radio berita luar negeri. Kemudian, lewat kurir, Sultan Hamengkubuwono IX berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Dalam surat balasannya, karena Sudirman jauh dari Yogyakarta, untuk penyerangan agar dibahas bersama Komandan TNI setempat, yakni Letkol. Suharto selaku komandan wehkreise III.

Wehkreise adalah lingkungan pertahanan atau pertahanan daerah yang mengadaptasi dari strategi militer yang dilakukan tentara Jerman pada Perang Dunia II.Sistem ini dipakai sejak dari pertahanan pulau sampai daerah-daerah. Masing-masing komandan diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan terhadap tentara Belanda. Wilayah wehkreise adalah satu keresidenan yang di dalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan.Letkol. Suharto datang menghadap ke keraton dan berganti baju dengan baju abdi dalem layaknya rakyat yang sedang meghadap raja. Dalam pertemuan dengan Letkol. Suharto untuk membahas penyerangan, Sultan berpesan agar silakan menyerang dari berbagai arah, tetapi jangan menyerang dari arah selatan karena di selatan ada keraton yang akan menjadi sasaran mortir dan merusak keraton.

Akhirnya, strategi pengepungan disepakati untuk dibagi menjadi enam sektor,yakni keraton bagian barat, keraton bagian timur, barat Jalan Malioboro, timur Jalan Malioboro, barat Stasiun Tugu ke utara, dan timur Stasiun Tugu ke utara. Penyerangan terhadapBelanda dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari. Tanggal 1 Maret 1949,sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu sirine berbunyi sebagaimana berakhirnya jam malam yang dibuat Belanda, serangan umum dilancarkan dari berbagai arah. Letkol. Suharto memimpin langsung penyerangan dan berjalan dengan sukses. Selama enam jam (mulai dari pukul 06.00 sampai dengan pukul 12.00), Yogyakarta dapat diduduki TNI.Setelah mendatangkan bantuan tentara dari Gombong dan Magelang, Belanda baru bisa memukul mundur para pejuang.

Keberhasilan gerilya kota adalah berkat bantuan Sultan Hamengkubuwono IX yang melindungi para gerilyawan di dalam keraton, termasuk perbekalan uang ratusan gulden

dan sebagainya. Keteguhan hati untuk berpihak kepada rakyat terlihat ketika terjadi perdebatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Jenderal Meyer,Komandan pasukan Belanda. Sultan Hamengkubuwono IX dituduh melindungi gerilyawan dan Belanda ingin mengejarnya ke dalam keraton. Namun, Sultan Hamengkubuwono IX menjawab dengan memakai bahasa Belanda yang fasih,“Kalau Tuan-tuan ingin menyerang keraton, maka silakan Tuan lakukan. Tetapi sebelum ítu,Tuan harus melangkahi mayat saya dulu.” Karena kewibawaan Sultan, akhirnya Jenderal Meyer tidak mencari lagi gerilyawan di dalam keraton. Bagi masyarakat Indonesia,kejadian Serangan Umum 1 Maret 1949 memberikan teladan bagaimana kuatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, dampak internasionalnya adalah meyakinkan dunia bahwa Indonesia masih ada dan masih punya kekuatan.Oleh karena itu, DK PBB mencarikan jalan terbaik untuk mengatasi persengketaan lewat perundingan.

Berdirinya PDRI

Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, sebelum pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel van Langen sampai ke Gedung Agung, Sukarno beserta para pemimpin negara melakukan rapat yang antara lain memutuskan agar presiden membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat. Sukarno juga mengirim mandat serupa kepada Mr.A.A. Maramis dan Dr. Sudarsono yang berada di New Delhi, India, apabila pembentukan pemerintah darurat di Bukittinggi mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin Prawiranegara berhasil mendeklarsikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Kabupaten Lima Puluh Kota pada 19 Desember 1948. 

PDRI ternyata aktif menjalankan pemeritahannya dan pemerintahan di Yogyakarta untuk sementara tidak aktif. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. a ).PDRI dapat sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. b). PDRI berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain.

Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirim kepada ketua Konferensi Asia,Pandit Jawaharlal Nehru, oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah. c).PDRI berhasil menjalin hubungan dan membagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India inilah informasi-informasi tentang keberadaan dan perjuangan bangsa (misalnya serangan 1 Maret 1949) dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.Maka,terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya. Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden RI di Yogyakarta pada 13Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama delapan bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI meskipun dalam beberapa hal harus dikonsultasikan dengan para pemimpin RI yang sedang dalam pembuangan.

Agresi Militer Belanda II

Seperti halnya ketika diadakan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dengan Belanda yang dikhianati Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I, ketika diadakan Perjanjian Renville, Belanda juga mengkhianatinya. Perjanjian Renville yang diadakan pada Januari 1948 di atas Kapal USS Renville di Pelabuhan Tanjung Priok,Jakarta, menyepakati suatu gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook (suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya).

Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta - wakil presiden merangkap perdana menteri menggantikan Amir Syarifuddin - tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mencari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saat ketegangan semakin memuncak, Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948,Wali Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel,mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.

Sementara itu, keadaan dalam negeri sudah sangat tegang terkait dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Musso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia

dari Uni Soviet. Musso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan dialah yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap Kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun, 18September 1948.

Untuk mengajak rakyat agar bersatu melawan pemberontakan PKI Madiun 1948yang mencoba menohok dari belakang sementara Republik Indonesia menghadapi Belanda,Sukarno dengan nada tinggi mengatakan, “Pada saat yang genting ini kita mengalami cobaan yang besar untuk menentukan nasib kita sendiri. Silakan pilih di antara dua, yaitu ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka atau ikut Sukarno-Hatta yang akan memimpin Negara RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga!" TNI bertindak cepat. Kolonel Sungkono segera mengerahkan brigade operasi di bawah komando Mayor Jonosewojo.Tentara Indonesia melakukan pukulan balasan terhadap PKI Madiun dengan bantuan dari batalion-batalion Mudjajin, Sabirin Muhtar, Sabaruddin, dan Sunaryadi. Gubernur Militer Gatot Subroto juga mengerahkan Brigade Sadikin Siliwangi dari arah Barat. Batalion batalion yang dikerahkan adalah Achmad Wiranatakusumah, Umar, Daeng, Nasuhi,Kusno Utomo,Sambas, Kosasih, dan Kemal Idris.

Dalam tempo sepuluh hari saja pasukan TNI telah merebut Madiun. Akhirnya,pemberontakan PKI Madiun dapat dipadamkan TNI dan pemimpinnya, Musso, ditembak mati pada 31 Oktober 1948. Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus- menerus melawan PKI Madiun, Belanda menyerang lagi. Dini hari, 19 Desember 1948,pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali Agresi Militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara.

Setelah mengetahui Belanda menyerang, Sultan Hamengkubuwono IX kemudian pergi ke Gedung Negara (sekarang Gedung Agung, Istana Negara Yogyakarta) untuk bertemu dengan Presiden Sukarno dan beberapa menteri seperti Juanda, Ali Sastroamijoyo,Rh. Kusnan, serta Laksamana Udara Suryadarma, sedangkan Wakil Presiden-Perdana Menteri Moh. Hatta tidak ada.

Ternyata, saat itu Hatta sedang berada di Kaliuranguntuk menghadiri pertemuan dengan perwakilan Australia, Critchley, anggota Komisi Tiga Negara. Karena kabinet akan segera mengadakan sidang darurat, sementara perdana menteri tidak ada, maka Sultan Hamengkubuwono IX menyanggupi untuk menjemput Hatta di Kaliurang.Sementara itu, pesawat terbang Belanda menjatuhkan granat, bom, dan tembakan mitraliur ke Benteng Vredenburg yang terletak di depan Gedung Negara. Sultan Hamengkubuwono IX langsung menuju mobilnya. Namun, sebelum sampai meninggalkan halaman Gedung Negara, Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan Sutan Syahrir, mantan perdana menteri yang juga akan menjemput Hatta ke Kaliurang.

Bersama Syahrir, Sultan Hamengkubuwono IX menuju Kaliurang. Di tengah jalan, Sultan Hamengkubuwono IX berpapasan dengan mobil milik Hatta yang menuju ke Gedung Negara. Dengan cepat, Sultan Hamengkubuwono IX memutar kemudinya untuk kembali ke Gedung Negara. Namun, karena pesawat terbang Belanda membabi buta memuntahkan bom, Sultan Hamengkubuwono IX memutuskan untuk meninggalkan jalan raya dan memasuki jalan desa yang lebih terlindung dengan jalan yang berliku-liku untuk menghindari serangan pesawat tempur Belanda.

Sesampai di Gedung Negara, ternyata sidang darurat sudah selesai sehingga Sultan Hamengku buwono IX sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan tidak sempat mengikuti sidang darurat yang sangat penting. Semula memang sudah ada rencana bahwa presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya akan diterbangkan ke India. Rencana lain adalah mengungsikan presiden ke Baturaden, di lereng Gunung Slamet,Jawa Tengah. Ternyata, dalam suasana genting itu pemerintah RI menghasilkan keputusan darurat seperti berikut.

1. Melalui radiogram, pemerintah RI mem berikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Juga memberikan perintah kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India bahwa apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat,maka A.A. Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintahan di India.

2. Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal di dalam kota- dengan risiko ditangkap Belanda - agar dekat dengan KTN (saat itu berada di Kaliurang).

3. Pimpinan TNI menyingkir ke luar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatra.

Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden dan sejumlah pejabat negara. Sukarno, Sutan Syahrir, serta Agus Salim ditawan dan diterbangkan ke Brastagi. Sedangkan Hatta, Mr. Roem, Ali Sastroamijoyo, Suryadarma,dan Assat ditawan di Bangka. Tidak beberapa lama, Sukarno kemudian dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal Sudirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota. Sore harinya, pukul 17.00, Komandan Pasukan Belanda Kolonel Van Langen yang menjadi penguasa militer di Yogyakarta datang ke keraton. Kedatangannya itu untuk memberitahukan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX boleh bergerak ke mana-mana secara leluasa asalkan tidak melawati garis merah yang tertera di peta.

Setelah dilihat, ternyata garis merah tersebut mengelilingi seluruh wilayah keraton. Itu artinya, Sultan HB IX tidak boleh keluar dan bergerak dengan bebas. Jadi,Sultan Hamengkubuwono IX dikenakan status tahanan rumah oleh Belanda. Aksi/Agresi Militer Belanda II ternyata menarik perhatian PBB karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan kepada PBB. Pada 24 Januari 1949, Dewan Keamanan membuat resolusi agar RI dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI serta pemimpin politik lain yang ditawan Belanda. Amerika Serikat mulai mengubah pandangannya terhadap Indonesia karena dengan tegas telah menumpas pemberontakan PKI di Madiun sehingga mulai melakukan tekanan dan ancaman menghentikan bantuan kepada Belanda yang diberikan dalam rangka Marshall Plan (di Eropa).Adanya tekanan politik dan militer - dengan makin besarnya kemampuan TNI untuk melaksanakan perang gerilya - itulah akhirnya Belanda menerima perintah Dewan 241Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya dan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

Apabila para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh.Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda, atas perintah Presiden Sukarno,Panglima Besar Sudirman yang saat itu berusia 30 Tahun meninggalkan Kota Yogyakarta untuk bergerilya. Sudirman, dalam sebuah diskusi kecil dengan Sukarno, mengajak Sukarno untuk meninggalkan Gedung Agung sebelum ditangkap Belanda dan bergerilya bersama di hutan. Namun, ajakan Sudirman tersebut ditolak oleh Sukarno dengan alasan jika Sukarno ikut bergerilya, maka Belanda akan dengan mudah menembak mati Sukarno.Sebaliknya, jika Sukarno tetap tinggal dan ditangkap Belanda,Sukarno dapat berdiplomasi dan masih bisa memimpin rakyat. Sukarno memerintahkan Sudirman untuk masuk ke desa dan hutan untuk perang gerilya 100 persen.

Akhirnya,Jenderal Sudirman yang dalam keadaan kondisi badan tidak sehat karena sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Sudirman dan rombongan melakukan perjalanan mulai dari Yogyakarta ke Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, dan Kediri.Karena dalam perang gerilya tersebut menggunakan kekuatan fisik yang prima, sementara Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit, maka selama dalam perjalanan Sudirman harus ditandu atau dipapah oleh anak buahnya untuk masuk hutan, naik gunung, turun jurang, dan keluar masuk dari desa satu ke desa yang lain. Sudirman memberikan contoh sebagaimana pesan Sukarno untuk tidak akan pernah menyerah dalam usaha mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI.

Dalam perjalanan perang gerilyanya, setelah sampai Kediri, Sudirman lalu memutar melawati Trenggalek dan terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di Sobo dengan tetap waspada karena Belanda menyebar tentaranya untuk memburu Sudirman dan anak buahnya untuk ditangkap dalam keadaan hidup atau mati. Jenderal Sudirman dan anak buahnya yang setia sungguh heroik karena menempuh perjalanan kurang lebih 1.000 km dengan perbekalan seadanya.

Waktu bergerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar,dahaga,kepanasan, kedinginan, ancaman Belanda, dan menahan rasa sakit pada paru-parunya.Meski demikian, Sudirman tidak lagi memikirkan harta, jiwa, dan raganya untuk tegaknya kedaulatan bangsa dan negara.

Perjanjian Renvile

Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di Indonesia pada 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu,Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal USS Renville. Perundingan Renville dilaksanakan pada 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perjanjian dihadiri oleh beberapa tokoh penting berikut. a). Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len,dan Nasrun. b). Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo Gambar 6.e. Kapal Renville. Tempat terjadinya Perjanjian Renville. (ketua),Mr.H.A.L. Van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil. c). PBB sebagai mediator diwakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.

Perjanjian ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok pokoknya, yaitu pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis Van Mook serta perjanjian peletakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer. Berikut adalah isi dari Perjanjian Renville. a). Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. b). Disetujuinya sebuah Garis Demarkasi Van Mook yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. c). TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Pada akhirnya,Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 dan disusul intruksi untuk menghentikan aksi tembak menembak pada 19 Januari 1948. Selain itu, masih ada enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik yang meliputi hal-hal berikut. a). Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). b). Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara. c). RIS sederajat dengan Belanda dan menjadi bagian dari Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni tersebut. d). Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS. e). Akan diadakan penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra untuk menentukan apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS. f). Dalam waktu 6 bulan sampai satu tahun akan diadakan pemilu untuk membentuk Dewan Konstitusi RIS.

Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, maka wilayah RI semakin sempit karena diterimanya Garis Demarkasi Van Mook, yakni wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda harus ditarik masuk ke wilayah RI, misalnya di Jawa Barat ada sekitar 35.000 tentara Divisi Siliwangi sehingga pada 1 Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah menuju wilayah RI di Jawa tengah dan ada yang ditempatkan di Surakarta. Di samping itu, ada sekitar 6.000 tentara dari Jawa Timur harus masuk ke wilayah RI.

Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan dari masyarakat sehingga muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin pada 23 Januari 1948. Akhirnya,Amir menyerahkan kembali mandatnya sebagai perdana menteri kepada presiden.Dengan demikian, keputusan Renville menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan pemerintahan peralihan.

Pembentukan Komisi Tiga Negara

Pada 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia)dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) karena beranggotakan ti ga negara,yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda,dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby,Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland, dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Dalam pertemuannya di Sydney, 20 Oktober 1947, KTN memutuskan untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda dengan cara damai.Pada 27 Oktober 1947, para anggota KTN telah tiba di Indonesia untuk memulai pekerjaannya, yang nantinya akan menghasilkan Perjanjian Renville.

Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I disebabkan Belanda yang tidak menerima hasil Perundingan Linggarjati yang telah disepakati bersama pada 25 Maret 1947. Belanda menafsirkan isi dari Perjanjian Linggarjati berdasarkan pidato Ratu Wihelmina pada 7Desember 1942 yang intinya menginginkan bangsa Indonesia menjadi anggota Commonwealth (negara persemakmuran) dan akan dibentuk menjadi negara federasi,kemudian Belanda yang akan mengatur hubungan luar negeri bangsa Indonesia.

Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati, Belanda terus melakukan tindakan yang bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan federasi, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Pada 27 Mei 1947, Belanda mengirim ultimatum yang isinya sebagai berikut. a). Pembentukan pemerintahan federal sementara (pemerintahan darurat). b). Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri. c). Dewan Urusan Luar Negeri bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa. d).Pembentukan pasukan keamanan dan ketertiban bersama. Pembentukan pasukan gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.

Pada prinsipnya, Perdana Menteri Syahrir (yang kabinetnya jatuh pada Juni 1947) dapat menerima beberapa usulan, tetapi menolak mengenai pembentukan pasukan keamanan bersama di wilayah RI. Tanggal 3 Juli 1947 dibentuk kabinet baru di bawah Amir Syarifudin yang kebijakannya juga menolak pembentukan pasukan keamanan bersama di wilayah RI. Pada 15 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Dr.H.J. Van Mook menyampaikan pidato radio bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Linggarjati. Selain itu, Van Mook juga mengultimatum bangsa Indonesia agar menarik pasukannya untuk mundur dari garis batas demarkasi sejauh 10 kilometer.

Pada saat itu, jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang dengan persenjataan yang modern termasuk persenjataan berat (artileri) yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia. Kemudian, Belanda melancarkan serangan kepada Indonesia pada 21 Juli 1947. Tujuan utama Agresi Militer Belanda I ialah sebagai berikut. a). Bidang politik: bertujuan untuk mengepung wilayah ibu kota Republik Indonesia dan menghilangkan secara de facto Republik Indonesia dengan menghapus RI dari peta. b). Bidang ekonomi: merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. c). Bidang militer: menghapus TNI/TKR sebagai ujung tombak pertahanan bangsa, dengan begitu Indonesia akan lemah dan mudah dikendalikan.

Untuk mengelabui dunia internasional,Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil (Politionele Acties) dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan

dalam negeri. Konferensi pers pada malam 20 Juli 1947 di istana tempat Gubernur Jenderal H.J. Van Mook mengumumkan kepada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama.Serangan di beberapa daerah seperti di Jawa Timur bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 malam sehingga dalam bukunya, J.A. Moor menulis Agresi Militer Belanda 231 I dimulai tanggal 20 Juli 1947.Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra,Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau. Di Jawa Tengah, mereka menguasai seluruh pantai utara dan di Jawa Timur,sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus,yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Raymond Westerling yang saat itu berpangkat Kapten dan Pasukan Para I (le para compagnie) di bawah Kapten C.Sisselaar. Pasukan KST merupakan pengembangan dari pasukan DST, pasukan yang melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (Pembantaian Westerling) dan ditugasan kembali untuk melancarkan agresi militer di Pulau Jawa dan di wilayah Sumatra Barat.Dalam agresi tersebut, Belanda berhasil menaklukan daerah-daerah penting Republik Indonesia seperti kota, pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT-CLA milik Patnaik dari Singapura dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datang secara tiba-tiba itu. Serangan tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu,pasukan TNI berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI kemudian melancarkan taktik perang gerilya. Dengan taktik ini, ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota besar dan jalan raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI. Tanggal 30 Juli 1947,pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB.Permintaan itu diterima baik dan dimasukkan agenda dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947.Sementara itu, untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk komisi Konsuler dengan angota-anggotanya yang terdiri dari para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina,Belgia,Peranci, Inggris, dan Australia.

Tanggal 3 Agustus 1947, Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB dan memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak-menembak.Pelaksanaannya dimulai pada malam hari pada 4 Agustus 1947. Kemudian, pada 14Agustus 1947, dibuka sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir hadir dari Indonesia.Dalam pidatonya di DK PBB,Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai

pelanggaran dan penghentian pertempuran, perlu dibentuk komisi pengawas. Pada 25Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan suatu Committee of Good Offices(Komisi Jasa-jasa Baik) atau yang lebih dikenal Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian, antara Indonesia dan Belanda memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika Serikat. Akhirnya,terbentuk Komisi Tiga Negara tanggal 18September 1947. Australia dipimpin olch Richard Kirby, Belgia dipimpin oleh Paul van Zeelland, dan Amerika Serikat dipimpin olch Frank Graham.

Perjanjian Linggarjati

Terpilihnya Sutan Syahrir sebagai perdana menteri menandakan berlakunya sistem Kabinet Parlementer yang bermaksud untuk menjadikan Republik Indonesia memiliki kedudukan yang kuat. Hal ini disebabkan pemerintahannya dipimpin oleh seorang tokoh pejuang demokrasi dan bebas dari fasisme. Walaupun cara kepemimpinan melalui diplomasi banyak mendapatkan pertentangan dari tokoh revolusi lainnya, tetapi perundingan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapat pengakuan dari negara-negara lainnya di dunia. Pemerintah Inggris yang ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di  Asia segera menyelesaikan tugasnya. Pemerintah Inggris menugaskan Sir Archibald Clark Kerr, sedangkan pihak Belanda mengutus H.J. VanMook.

 

Pada 14 sampai 25 April 1946, perwakilan Inggris mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe. Namun sayang, perundingan itu berakhir gagal karena tidak menghasilkan apa-apa. Sebab, Belanda tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya. Pemerintahan Belanda hanya mau mengakui kedaulatan Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura. Sehubungan dengan gagalnya perundingan di Hoogwe Veluwe, kemudian disepakati untuk dilaksanakannya Perjanjian Linggarjati di daerah Jawa Barat.

 

Masalah-masalah yang terus-menerus terjadi antara negara Indonesia dengan Belanda menjadi sebuah alasan terjadinya Perjanjian Linggarjati. Masalah ini terjadi karena negara Belanda belum mau mengakui apabila negara Indonesia telah merdeka dan baru saja dideklarasikan. Para pemimpin atau tokoh negara menyadari bahwa mengakhiri permasalahan dengan peperangan hanya akan mengakibatkan dan menelan korban jiwa dari kedua belah pihak, yaitu dari negara Indonesia dan negara Belanda. Oleh sebab itu,negara Inggris berusaha sebisanya untuk mempertemukan negara Indonesia dengan negara Belanda di sebuah meja perundingan untuk membuat atau membentuk sebuah kesepakatan yang sangat jelas. Akhirnya, perjanjian yang memiliki banyak sejarah antara negara Indonesia dan negara Belanda ini 227 terlaksana dan berakhir di daerah Linggarjati, Cirebon, sekitar tanggal 10 November 1946.

 

Lokasi Linggarjati ini berada di lereng Gunung Ciremai yang mempunyai suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah. Selain itu, Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja kebetulan berasal dari Partai Sosialis, sehingga keamanan dari perjanjian ini terjamin. Selain itu, Linggarjati dipilih sebagai tempat dilaksanakannya perundingan karena terletak di tengah-tengah Jakarta dan Yogyakarta -pada saat ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta.

 

Pemerintah Belanda diwakili oleh Komisi Jenderal dan Pemerintah Republik Indonesia pada saat itu diwakili oleh Delegasi Indonesia atas dasar keinginan yang ikhlas.Keduanya hendak menentukan hubungan yang baik pada kedua bangsa, yaitu antara Belanda dan Indonesia. Perundingan ini dilaksanakan pada 10 November 1946.Delegasi Indonesia terdiri dari Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan dr.A.K. Gani. Sedangkan delegasi Belanda antara lain Prof. Willem Schermerhorn, F. de Boer, H.J.Van Mook, dan Max van Poll. Bertindak sebagai moderator atau penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. Perjanjian ini ditandatangani pada 25 Maret 1947dalam sebuah upacara kenegaraan yang diselenggarakan di Istana Rijswijk atau yang sekarang disebut Istana Negara. Isi dari perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut.a). Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesiadengan wilayah kekuasaan yang meliputi wilayah Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah itu selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1949. b). Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dengan membentuk negara serikat dengan nama Republik Indonesia.Oposisi mengkritik Sukarno-Hatta karena menganggap perundingan itu merugikan Indonesia. Serikat (RIS). Pembentukan RIS akan segera dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 1949. c). Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda.

 

Butir-butir perjanjian ini jika dilihat secara sepintas merupakan sebuah kerugian,karena wilayah Indonesia hanya Sumatra, Jawa, dan Madura. Hal ini berbeda jauh  dengan hasil sidang PPKI yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia mencakup delapan provinsi. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, isi perjanjian ini merupakan keunggulan kita secara politik, karena dengan adanya perundingan ini berarti nama Republik Indonesia sudah tercatat dalam hukum perjanjian internasional dan tidak akan bisa dihapus lagi.

Setelah Perjanjian Linggarjati, beberapa negara telah memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI, misalnya Inggris, Amerika Serikat,Mesir,Afganistan,Myanmar,Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak.

Pertempuran Bandung Lautan Api Melawan Sekutu

Latar belakang Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari peristiwa ketika pasukan Sekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada 17 Oktober 1945. Para pejuang Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjta dan kekuasaan dari tangan Jepang.Pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW)- sekarang Pindad.

Seperti halnya di kota-kota besar lain, di Bandung pasukan Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat sehingga terjadi pertempuran-pertempuran.Menjelang November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.Tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan Indonesia melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di wilayah Bandung bagian Utara. Hotel Homann dan Hotel Preanger yang digunakan Sekutu sebagai markas juga tak luput dari serangan. Menanggapi serangan ini,tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum pertama kepada Gubernur Jawa Barat.

Ultimatum ini berisi perintah agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk dari pasukan bersenjata dengan alasan untuk menjaga keamanan.Sekutu menuntut agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Sejak saat itu sring terjadi insiden antara pasukan Sekutu dengan pejuang. Masyarakat Indonesia yang mendengar ultimatum ini tidak mengindahkannya. Sehingga pecah pertempuran antara Sekutu dan pejuang Bandung pada 6 Desember 1945.

Tanggal 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengulang ultimatumnya.Sekutu memerintahkan agar TRI (Tentara Republik Indonesia) segera meninggalkan Kota Bandung. TRI diperintahkan untuk mundur sejauh 11 kilometer dari pusat kota paling lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946. Mendengar ultimatum tersebut, pemerintah Indonesia di Jakarta lalu menginstrusikan agar TRI mengosongkan Kota Bandung demi keamanan rakyat. Akan tetapi, perintah ini berlainan dengan yang diberikan dari markas TRI di Yogyakarta. Dari Yogyakarta,keluar instruksi agar tetap bertahan di Bandung. Sekutu membagi Bandung dalam dua sektor,yakni Bandung Utara dan Bandung Selatan. Sekutu meminta orang-orang Indonesia untuk meninggalkan Bandung Utara.

Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan meninggalkannya dengan alasan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda memakai Kota Bandung sebagai markas strategi militer mereka dalam Perang

Kemerdekaan Indonesia.Operasi pembakaran Bandung ini disebut sebagai operasi “Bumi Hangus”. Keputusan untuk membumihanguskan Kota Bandung diambil lewat musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang dilakukan di depan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III memutuskan dan memerintahkan untuk segera mengevakuasi seluruh penduduk Bandung dan membumihanguskan semua bangunan yang ada di kota tersebut.

Keputusan pada musyawarah tersebut dipertanyakan oleh sejumlah petinggi militer Indonesia karena dianggap tidak berupaya mempertahankan Kota Bandung hingga titik darah penghabisan. Nasution memiliki alasan yang kuat. Jumlah pasukan RI tidak seimbang dengan kekuatan militer Sekutu. Jika TRI mempertahankan Bandung dengan melawan Sekutu, lambat laun Bandung tetap akan diduduki. Dari segi persenjataan dan jumlah personel, Inggris bukan lawan yang seimbang bagi TRI meskipun dibantu pejuang atau laskar. Saat itu, TRI Bandung hanya memiliki 100pucuk senjata, kebanyakan memakai bambu runcing dan senjata tajam lainnya.Sedangkan Inggris memiliki 12.000 pasukan yang bersenjata lengkap dan modern.Belum lagi dibantu pasukan bayaran Gurkha dan NICA. Nasution tidak mau mengorbankan empat divisi yang ada. Dengan membakar kota Bandung, Sekutu akan menerima puing-puing, mereka akan sulit membangun markas, dan pergerakannya pun akan melambat. Pada saat itu, empat divisi yang ada masih tetap utuh dan mereka akan ditempatkan di kantung-kantung gerilya di dalam kota untuk tindakan perlawanan selanjutnya. Hasil musyawarah itu lalu diumumkan kepada rakyat.

Kebakaran hebat justru muncul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat mengungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih,Cigereleng, Jalan Sudirman, serta Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain. Peristiwa pembakaran ini menjadikan Bandung lautan api dikenang hingga kini. Mars Halo-halo Bandung sekarang menjadi lagu wajib nasional. Monumen untuk mengenang peristiwa itu didirikan di Lapangan Tegalega

Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

  Masa Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia